Jakarta, CNN Indonesia --
Saya tak pernah bermimpi untuk menjadi atlet nasional hingga pada satu titik saya dianggap punya 'kelainan' oleh guru sekolah saya.
Awalnya, saya hanya ikut tes jasmani karena baru masuk SMP Sumedang Ujung Jaya. Namun, saya terkejut karena guru bilang saya punya 'kelainan' karena hasil tes saya melebihi nilai murid laki-laki.
Kelainan yang dimaksud adalah bakat yang berbeda dari yang lain. Mulai dari situ, saya diminta untuk latihan rutin untuk mengikuti seleksi atlet atletik kelas pelajar di Sumedang.
Dari lima nomor atletik yang diperlombakan, saya ternyata berhasil memenangi tiga nomor. Artinya, prestasi saya melebihi atlet-atlet pelajar Sumedang yang sudah pernah tanding.
Sempat ada perdebatan karena saya orang baru. Tapi, guru saya bersikeras bahwa saya harus dipilih mewakili Sumedang karena unggul dalam proses seleksi. "Buat apa ada seleksi kalau yang dipilih bukan hasil terbaik," kata guru saya kala itu.
Akhirnya saya yang dikirim untuk seleksi Jawa Barat di Tasikmalaya dengan kuota 11 putra dan 11 putri. Saya pun lolos seleksi dan harus masuk asrama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya bangga sekaligus takut menghadapi kenyataan bahwa saya akan tinggal di asrama sebagai atlet pelajar. Karena selama ini saya hanya seorang anak rumahan yang tak pernah jauh dari orangtua. Tapi, saya harus menghadapi hidup disiplin di asrama dengan program latihan rutin setiap hari.
Semula berat sekali, tapi karena ada teman-teman yang bernasib sama lama-lama jadi enjoy bareng.
 Dedeh Erawati langsung punya prestasi apik dalam perlombaan pertamanya saat SMP. (ANTARA FOTO/Hana) |
Pelatih saya sejak awal adalah Wita Witarsa. Dia yang menemukan bakat saya lebih condong di nomor lari gawang. Awalnya saya kurang suka tapi lama-lama mulai menikmati usai mencicipi kemenangan di beberapa kejuaraan.
PON 1996 jadi ajang nasional pertama yang saya ikuti. Saat itu saya memang belum berhasil meraih medali tapi mental dan kepercayaan diri makin teruji. Di tahun yang sama, saya berhasil memecahkan rekor nasional di nomor lari gawang 100 meter dengan catatan 14,2 detik.
Prestasi itu yang membawa saya masuk pelatnas atletik ke SEA Games 1997 di Jakarta. Saat itu saya masih 17 tahun dan belum lulus SMA.
Rasanya senang sekali bisa terpilih mewakili Indonesia di event bergengsi se-Asia Tenggara. Sayang, saya masih belum mampu meraih kemenangan.
 Dedeh Erawati meraih tiga emas SEA Games. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A) |
Di tiga edisi SEA Games berikutnya (1999, 2001, dan 2003) saya ternyata juga hanya sebagai penggembira di babak final. Selalu pulang tanpa medali.
Tahun 2003 menjadi titik terendah dalam karier saya. Usai melahirkan, saya merasa tak sanggup lagi melanjutkan karier sebagai atlet. Toh, sebelumnya saya juga selalu gagal berprestasi di SEA Games.
"Untuk pecahkan rekor nasional saja sudah susah apalagi turun di kejuaraan lebih tinggi," ujar saya dalam hati.
Kemudian saya memilih pensiun dan berencana bekerja kantoran untuk melanjutkan hidup seperti kebanyakan orang. Namun, hati saya bergejolak ketika mengunjungi tempat latihan.
Saya tidak bisa membohongi diri bahwa sebagian diri saya masih tertinggal di atletik. Saya harus melanjutkan mimpi untuk meraih prestasi.
Baca lanjutan artikel ini di halaman berikutnya>>>
Beruntung saya bertemu banyak pelatih dari ahli dalam sport science. Teknik latihan saya pun dirombak total. Saya jadi banyak belajar dan lebih terbuka dengan hal-hal baru.
Saya menemukan kendala yang membuat saya susah memecahkan rekor nasional. Ternyata karena teknik latihan yang acak-acakan dan biomekanika juga parah.
Sebab, di nomor lari gawang, sedikit saja ayunan tangan terbuka keluar akan memengaruhi kecepatan sepersekian detik di satu gawang dan bisa lebih lambat lagi di gawang berikutnya.
Dukungan pengetahuan dari pelatih tambahan membuat saya makin bergairah berlatih dengan program yang lebih tepat. Bukan berarti metode latihan sebelumnya salah, tapi program latihan yang tepat itu harus disesuaikan dengan anatomi tubuh dan kekuatan masing-masing individu.
Sebetulnya fisiknya saya sebenarnya kurang mendukung untuk menjadi sprinter karena telapak kaki saya datar, kemudian tungkai juga agak semi berbentuk X. Situasi ini membuat saya lebih rentan berpotensi cedera. Tapi, ini bisa diakali dengan sport science.
Singkat cerita, saya berhasil meraih medali perak SEA Games 2005 di nomor lari 100 gawang putri. Prestasi ini melecut motivasi saya lebih besar lagi.
Saat berkesempatan tanding di Jerman saya mendapat pengetahuan baru dari dokter di sana untuk meminimalisir potensi cedera lutut. Telapak saya yang agak datar harus dibuat tambalan atau taping supaya ada lengkungan. Setelah itu memang saya jadi jarang cedera. Itulah pentingnya sport science.
Metode latihan jadinya disesuaikan dengan kebutuhan tidak perlu seperti menu latihan "sadis". Program boleh sama cuma harus dilihat lagi kekurangannya apa.
Alhasil, saya berhasil meraih emas SEA Games 2007 di Thailand, dua tahun kemudian juga berhasil raih emas di SEA Games 2009 Laos. Sayang, pada 2011 pada SEA Games Palembang saya malah terbeban dan hanya berhasil raih perak di dua nomor, 100m lari gawang dan 4x400m.
Tak berhenti sampai di situ, saya kembali raih emas di SEA Games 2013 di Myanmar. Itu menjadi medali terakhir saya di SEA Games.
 Dedeh Erawati mengubah metode berlatih. (Arsip Pribadi) |
Memori Manis Sekaligus Pahit di Olimpiade
Tahun 2008 jadi salah satu momen terindah karena terpilih jadi wakil Indonesia di Olimpiade 2008. Memang saat itu saya belum mampu menyumbang medali, tapi atmosfernya sangat luar biasa.
Ditonton ratusan ribu penonton membuat kita makin bersemangat. Saya merasa sudah bertanding maksimal bersama orang-orang hebat di kiri kanan yang sebelumnya hanya bisa saya tonton di YouTube.
Yang pasti, saya tak melewatkan satu detik pun momen di Olimpiade 2008. Meski tidak membawa pulang medali, setidaknya saya bisa pecah rekor nasional.
Akan tetapi, kekecewaan terbesar di dalam karir adalah saat Olimpiade 2012. Saya merasa masih layak terpilih mewakili Indonesia jika melihat statistik terakhir karena saya yang paling mendekati limit Olimpiade dibanding atlet lainnya. Tapi ternyata tidak terpilih.
 Dedeh Erawati tak mau berhenti berlari demi Indonesia. (Arsip Pribadi) |
Menurut saya, atlet yang dipilih mewakili Indonesia saat itu tidak salah namun persoalan ada di pengurus PB PASI. Faktanya, catatan waktu yang diraih teman saya saat itu juga buruk sekali.
Pada 2016 saya juga tidak masuk dengan alasan regenerasi. Oke saya terima dengan lapang dada karena saya sudah merasa cukup tampil di event besar.
Tapi, namanya gila tanding, saya terus berlatih dan ikut kejuaraan secara individu. Hingga saat ini masih ikut berbagai kejuaraan termasuk World Masters Championships di atas 30 tahun.
Terakhir saya tanding di World Masters Championships 2018 Malaga dan sukses meraih medali emas. Prestasi ini pernah saya raih sebelumnya di WMC 2016 Perth, Australia.
[Gambas:Photo CNN]
Sampai sekarang saya masih bertanding. Rencananya bakal terjun di Singapura Open 2022, 2 Juni mendatang. Sebetulnya saya rencana ikut di World Masters Championships 2021 tapi dibatalkan karena pandemi.
Saat ini saya sedang menikmati masa-masa bersama keluarga tapi tak akan pernah melupakan mimpi besar saya untuk menelurkan atlet berprestasi di ajang internasional.
Untuk mewujudkan mimpi itu, rencananya saya baru akan mulai terjun melatih serius dua tahun mendatang di 2024. Karena bagi saya, menjadi pelatih sama seriusnya ketika saya aktif sebagai atlet. Harus total dan berprestasi!
[Gambas:Video CNN]