Dari Reinkarnasi PSSI ke Halusinasi Macan Asia
Dari 1950 hingga 2022 atau selama 72 tahun, pernah ada jiwa 'Macan Asia' di tubuh Timnas Indonesia. Bisakah PSSI mewujudkan kembali kebanggaan itu?
Sebelum bicara 'Macan Asia' mari kita bicara PSSI. Tanpa PSSI tak akan ada Tim Merah Putih, sebutan awal Timnas Indonesia yang dipopulerkan PSSI usai kemerdekaan. PSSI adalah ruhnya sepak bola Indonesia.
Setelah PSSI berdiri pada 1930, Belanda memainkan politik adu domba. Diciptakanlah Ikatan Sepakbola Negara Indonesia Serikat (ISNIS) dan Voetbal Unie Verenigde Staten Van Indonesie (VUSVI).
Namun PSSI tahan banting. Hingga Hindia Belanda 'KO' dari Jepang pada 1942, PSSI tetap eksis. Sayangnya Jepang lewat organisasi Tai Iku Kai membuat PSSI mati suri. Kompetisi buatan PSSI pun hibernasi.
Selepas Jepang menyerah dan Indonesia merdeka pada 1945, serta sekutu kabur pada 1946, Kongres Olahraga I digelar pada 1947. Salah satu amanat kongres itu adalah mendesak PSSI bersurat ke FIFA agar mengakui Indonesia.
Tujuannya satu: Indonesia tampil di Olimpiade London 1948. Namun surat cinta PSSI dibalas tuba.
Indonesia dianggap tidak berhak ke London dengan dua alasan: (1) belum diakui merdeka oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan (2) belum punya organisasi resmi di International Olympic Committee (IOC).
Soekarno marah. Pekan Olahraga Nasional (PON) I 1948 dirancang. Bapak proklamator ini ingin PON jadi kembang api kemerdekaan: dunia harus tahu bahwa Indonesia sudah berdaulat penuh meski invasi masih ada.
Pada 22-23 Desember 1949, empat bulan setelah Konferensi Meja Bundar (KMB), Kongres Olahraga III digelar. Amanat besar dari kongres ini adalah seluruh cabang olahraga Indonesia harus otonom lagi.
Pada 2-4 September 1950, akhirnya PSSI melaksanakan kongres yang ke-12 setelah vakum sejak 1942. Kongres ini kemudian dikenal dengan sebutan kongres 'incarnatie' atau kongres reinkarnasi.
Beberapa keputusan penting kongres ini adalah mengganti singkatan PSSI dari 'sepakraga' menjadi 'sepakbola', memilih Maladi jadi ketua umum, segera mendaftar ke FIFA, dan membentuk kesebelasan PSSI.
Sejarah Macan Asia
Kongres Reinkarnasi PSSI pada 1950 itu memutuskan program delapan tahun Soeratin Sosrosoegondo (1930-1938) harus dilanjutkan Maladi: dalam delapan tahun ke depan Timnas Indonesia masuk tiga besar Asia.
Untuk mencapai target itu ditetapkan enam program utama: kompetisi berjenjang, pendidikan wasit dan pelatih, disiplin organisasi, membentuk kesebelasan nasional, pembinaan usia muda, dan medali Asian Games 1958.
Pada Januari 1951, PSSI memilih pria asal Singapura, Choo Seng Quee sebagai pelatih. Lelaki yang biasa disapa 'Uncle Choo' ini lantas melakukan seleksi pemain dan merancang program.
Pada saat yang sama Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX melakukan diplomasi internasional. Meski belum diakui FIFA, Timnas Indonesia bertekad tampil di Asian Games 1951 di New Delhi, India.
Maka digelarlah pertandingan uji coba. PSSI mengundang Singapura berlatih tanding. Duel tersebut terwujud pada 21 Februari 1951 di Lapangan Bataviasche Voetbal Club. Inilah laga internasional pertama Timnas Indonesia.
Dalam laga ini turut diundang duta besar India, Dr. Subbarayan. Ini diplomasi tingkat tinggi agar tim sepak bola Indonesia tetap bisa tampil di pesta olahraga Asia edisi perdana tersebut.
Waktu yang dinanti tiba. Pada 5 Maret 1951 di Stadion Nasional, New Delhi, India menang telak 3-0 atas Indonesia dalam laga kedua cabang olahraga sepak bola Asian Games 1951.
Usai itu ada satu laga uji coba lainnya, yakni melawan Korea Selatan pada 31 Maret 1953. Dalam duel ini Indonesia kalah 1-3, yang berujung berakhirnya kisah 'Uncle Choo' bersama PSSI.
Maladi bersama petinggi PSSI lantas memilih Antun Pogacnik sebagai arsitek baru. Sejumlah laga uji coba internasional digelar. Salah satunya adalah melawan Yugoslavia di Jakarta.
Sentuhan Pogacnik moncer. Indonesia lolos ke semifinal Asian Games 1954, meski akhirnya takluk dari Burma (sekarang Myanmar) dalam perebutan perunggu. Namun sepak bola Indonesia mulai diperhitungkan.
PSSI makin serius. Pemusatan latihan di Eropa dijalani. Hasilnya, Timnas Indonesia membuat kejutan di Olimpiade 1956 Australia dengan menahan imbang 0-0 Uni Soviet, meski akhirnya kalah 0-4 pada laga kedua.
Berikutnya di Asian Games 1958 berhasil meraih medali perunggu. Performa Ramang dan kawan-kawan selama tur Eropa, Olimpiade, dan Asian Games ini yang kemudian melahirkan julukan Macan Asia.
Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>