Pertanyaan 'Kapan Viktor Axelsen bakal kalah?' menggema seiring kehebatan Axelsen di lapangan badminton yang seolah tak tertandingi dalam beberapa bulan terakhir.
Sebagai awalan, pertanyaan 'Kapan Axelsen bakal kalah?' bukanlah selalu sebuah pengharapan atas hal-hal buruk terhadap dirinya. Pertanyaan tersebut justru bisa jadi merupakan wujud kekaguman terhadap kemampuan dan ketangguhan dirinya di lapangan.
Pasalnya, persaingan di nomor tunggal putra saat ini tidaklah berputar merata. Persaingan berputar dengan Viktor Axelsen sebagai porosnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah kalah di German Open, Axelsen tidak pernah kalah lagi di lapangan. Gelar All England, Kejuaraan Eropa, Indonesia Masters, Indonesia Open, dan Malaysia Open berhasil diraup olehnya.
Gelar Swiss Open dan Thailand Open, dua turnamen yang diikuti oleh Axelsen, memang lepas dari tangkapannya. Namun dalam dua turnamen tersebut, Axelsen kalah karena walkover lantaran kondisinya tak memungkinkan untuk bertanding. Bukan lantaran kalah adu teknik di lapangan.
Mengerucutkan penampilan Axelsen pada tiga turnamen terakhir, Axelsen benar-benar menunjukkan perjalanan karier yang jadi impian banyak orang. Di tengah jadwal yang padat dan ketat, tiga turnamen dalam empat pekan, Axelsen bisa selalu tersenyum dan mengakhiri tiap pekan dengan gelar di tangan.
![]() |
Sebagai unggulan pertama, di tengah persaingan tunggal putra yang sebenarnya merata [tentu tanpa menghitung Axelsen di dalamnya], perjalanan Axelsen di tiga turnamen terakhir sejatinya diadang lawan-lawan berat.
Namun satu per satu lawan berhasil dipatahkan dan ditundukkan oleh Axelsen di lapangan.
Kento Momota, Chou Tien Chen, Lee Zii Jia, Jonatan Christie adalah nama-nama pebulutangkis 10 besar yang jadi korban dalam perjalanan Axelsen untuk jadi juara dalam tiga turnamen terakhir. Bahkan khusus Anthony Ginting, Axelsen tiga kali berhasil menaklukannya.
Axelsen juga bukan sejatinya benar-benar tak tersentuh di lapangan. Ia beberapa kali menghadapi kesulitan, bahkan dengan tipe-tipe kesulitan yang berbeda.
Di Indonesia Open, Axelsen tak malu-malu mengumbar rasa marah dan kecewanya ketika Lee Zii Jia nyaris menaklukkannya. Namun rasa kecewa dan marah itu malah justru bisa membuatnya mengembalikan fokus usai gagal menuntaskan empat match point beruntun.
Menghadapi Ginting dan Jonatan, Axelsen bisa keluar dari tekanan menghadapi dua jagoan Indonesia yang punya gaya main berbeda.
Dalam dua duel lawan Ginting dan satu laga lawan Jonatan, Axelsen dipaksa bermain rubber game. Namun pada gim penentuan, Axelsen selalu bisa menunjukkan perbedaan penguasaan permainan yang signifikan.
Melihat permainan-permainan Axelsen secara umum, Axelsen yang ada dalam beberapa waktu terakhir adalah sosok pebulutangkis yang sulit untuk dimatikan dalam satu serangan.
Axelsen memiliki postur tinggi besar namun hal itu tidak lantas membuatnya identik dengan gerak yang kaku dan lambat. Axelsen bisa menjangkau shuttlecock ke segala sisi lapangan dengan baik.
Atas situasi itulah, poin-poin yang didapat saat duel lawan Axelsen kebanyakan lewat serangan yang sudah diolah sedemikan rupa. Lalu barulah terkadang sesekali lewat sebuah pukulan dahsyat yang bisa lepas dari penjagaan Axelsen.
Bisa pula poin didapat dari kesalahan Axelsen, tetapi situasi itu terbilang minim terjadi saat ini.
Sebaliknya, Axelsen selalu menanti dan mengintai tiap kesalahan lawan. Salah angkat shuttlecock sedikit saja, marabahaya sudah jadi konsekuensi yang harus diterima.
Meruntuhkan dominasi Axelsen kini seolah jadi misi utama para pebulutangkis tunggal putra di seluruh penjuru dunia.
Ketika turnamen berlangsung dan pertanyaan bergeser dari 'Siapa yang bakal jadi juara?' menjadi 'Apakah Axelsen juara atau gagal juara?', seperti halnya pertanyaan sebelumnya yaitu 'Kapan Axelsen bakal kalah?', di situlah pengakuan tentang kehebatan Axelsen nyata menggema.