Menjadi rahasia umum di Liga Indonesia bahwa sejatinya jarang ada pelatih yang dipecat. Jika ada pelatih yang disebut dipecat, sebenarnya diminta mundur lewat diskusi yang sifatnya kekeluargaan.
Jalan ini ditempuh karena pelatih yang mundur mendapat biaya kompensasi. Namun lewat 'jalan kekeluargaan' tersebut pelatih tetap mendapat dana perpisahan yang angkanya tidak sebesar pemecatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada satu sisi kontrak pelatih-pelatih Liga 1 kurang bersahabat. Dalam kontrak yang disepakati tidak ada jaminan bahwa klub akan memberi waktu kepada pelatih menunjukkan kualitasnya minimal setengah musim.
Hal ini penting sebab beberapa pelatih datang saat skuad tim sudah terbentuk. Pelatih tidak memiliki waktu mencari pemain yang sesuai dengan karakternya. Sebaliknya rapor buruk awal musim langsung jadi kambing hitam.
Sudah lazim dikritisi bahwa kebanyakan klub Indonesia dominan berorientasi prestasi. Ini bukan hal yang negatif, tetapi bisa menjadi bumerang bagi klub yang tidak punya cukup fondasi.
Untuk klub kaya dengan basis massa besar dan langganan papan atas, hasil negatif awal musim cukup bisa diterima untuk dijadikan tekanan. Namun hal ini akan menjadi aneh jika klub medioker mematok hal sama.
Orientasi klub besar dengan dana menggunung tentu saja juara, sedangkan klub lebih kecil harus sadar diri. Hal semacam ini yang sering kali tidak dipahami sehingga orientasi klub menjadi abu-abu.
Idealnya klub-klub yang secara ekonomi di papan tengah dan bawah baru mengganti pelatih menjelang tengah musim, jika performa tim sudah melorot. Ini dilakukan agar pelatih bisa belanja pemain di jendela transfer.
(abs/nva)