Regenerasi Ganda Putra Tak Disandera Ahsan/Hendra
Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan terus berdiri tegak di lapangan meski usia mereka sudah ada di paruh akhir kepala tiga. Namun cepat-lambat regenerasi ganda putra tak ada hubungannya dengan mereka.
Setelah Ahsan/Hendra kalah di final Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2022, sejak awal saya yakin mayoritas akan tetap memberikan pujian pada The Daddies.
Dengan usia Ahsan hampir 35 tahun dan Hendra telah menginjak 38 tahun, mereka tetap bisa berdiri di partai puncak Kejuaraan Dunia.
Tentu butuh mental, latihan keras, dan motivasi yang tetap tinggi agar Ahsan/Hendra bisa mencapai titik tersebut.
Namun yang mengganggu mata, ternyata tak sedikit komentar-komentar yang menyudutkan Ahsan/Hendra dan menghubung-hubungkannya dengan regenerasi ganda putra.
Setelah Ahsan/Hendra kalah, banyak yang mengaku sebenarnya mereka berharap Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto yang lolos ke final Kejuaraan Dunia 2022 karena Fajar/Rian sedang punya tren menanjak.
Komentar tersebut masih terlihat wajar. Namun kemudian ada pula komentar yang menyebut seharusnya Ahsan/Hendra mengalah dan memberikan jalan untuk Fajar/Rian menuju final.
Berangkat dari situ, lalu kemudian banyak juga pembicaraan yang menyebut seharusnya Ahsan/Hendra mundur saja sehingga slot untuk Olimpiade 2024 diisi oleh pemain-pemain muda.
Intinya kehadiran Ahsan/Hendra kemudian dianggap sebagai salah satu penghambat regenerasi ganda putra.
Komentar-komentar ini yang terasa mengganjal di mata dan mengusik di pikiran hingga sulit dicerna.
Pertama, bulutangkis dalam hal Kejuaraan Dunia dan Olimpiade, adalah olahraga perorangan. Beda halnya dengan olahraga tim macam sepak bola atau basket.
Bila di sepak bola, misal ada seorang striker tua yang sudah tidak cepat, tak lagi pandai melompat, dan tak lagi ganas dalam melepaskan tembakan ke gawang. Namun kemudian dia tetap dipercaya oleh pelatih sebagai striker utama tim nasional tanpa mempertimbangkan pemain-pemain muda.
Bila di bola basket, misal ada seorang center berumur yang tak lagi sanggup bertarung menguasai ring dan mulai lemah dalam perebutan rebound, tetapi kemudian pelatih tak mau melirik center-center yang muda.
Barulah hal itu cocok dan masuk contoh kasus menghambat regenerasi. Pelatih yang bersangkutan layak mendapat sorotan.
Namun bulutangkis adalah olahraga perorangan yang punya karakteristik berbeda. Ahsan/Hendra lolos ke Kejuaraan Dunia bukan karena mereka pasangan paling tua, seperti halnya cara masuk sekolah negeri di Indonesia yang mengambil nomor urut siswa yang lolos dari siswa tertua.
Ahsan/Hendra lolos ke Kejuaraan Dunia karena mereka memenuhi syarat kualifikasi untuk tampil di Kejuaraan Dunia.
Ahsan/Hendra pun datang ke Tokyo dan tetap harus memulai segalanya dari awal, bukan mendapat karpet merah untuk langsung tampil di final. Ahsan/Hendra juga sama seperti pemain-pemain lainnya, menapaki satu per satu tangga untuk bisa tampil di partai final Kejuaraan Dunia.
Perkara bahwa kuota maksimal suatu negara untuk tampil di Kejuaraan Dunia hanya empat pasang, tentu itu bukan salah Ahsan/Hendra bila mereka bisa unggul dari ganda-ganda muda lainnya yang tak lolos kualifikasi di Kejuaraan Dunia kali ini.
Situasi serupa juga berlaku sama dalam perjalanan menuju Olimpiade 2024. Saat kuota tiap negara maksimal hanya dua pasang, maka silakan tiap ganda untuk sama-sama berjuang.
Ahsan/Hendra, bila mereka memutuskan masih berdiri di lapangan, tentunya punya hak yang sama untuk ikut bertarung dalam meraih tiket di tangan.
Ganda putra di era Herry Iman Pierngadi telah menetapkan aturan yang jelas dan tegas. Mereka yang berhak lolos adalah mereka yang memang terbaik dari segi peringkat.
Syarat macam itu tentu memenuhi unsur objektivitas dan akan sulit untuk didebat. Mereka-mereka yang nantinya lolos jelas karena mereka adalah pasangan yang lebih layak dan lebih hebat.
Syarat ini mendudukkan semua ganda putra yang dimiliki Indonesia saat ini pada posisi yang sama. Semua berhak dan punya kesempatan membawa nama Indonesia di Olimpiade.
Baik itu Kevin/Marcus, Ahsan/Hendra, Fajar/Rian, Fikri/Bagas, Leo/Daniel, Pramudya/Yeremia, atau bahkan deretan ganda putra yang saat ini masih masuk kategori pelatnas pratama.
Lalu soal mengalah alias team order, Herry IP anti dengan hal tersebut. Mereka kembali mendudukkan tiap ganda putra yang berjumpa dalam posisi sejajar, bahwa mereka yang lebih baik di hari pertandingan layak jadi pemenang dan melanjutkan perjalanan.
Lagipula team order akan menyisakan ganjalan yang mungkin tak akan bisa hilang dan dihapus sepanjang sisa hidup sang atlet yang terlibat, baik yang dirugikan maupun diuntungkan. Seperti halnya baru-baru ini pengakuan Ye Zhaoying yang diminta mengalah di semifinal Olimpiade 2000 ketika bertarung melawan rekan senegaranya, Gong Zhichao.
Cerita-cerita macam itu tentu akan jadi ganjalan, baik itu berupa rasa luka yang sulit hilang atau berupa noda di balik hikayat tentang kemenangan.
Kembali ke soal regenerasi, Ahsan/Hendra jelas tidak berdiri menghalangi jalan pemain-pemain muda ke puncak dunia.
Ada atau tidak ada Ahsan/Hendra, pemain-pemain muda Indonesia memang harus mengandalkan kaki sendiri untuk mencapai tempat tertinggi. Mereka harus melewati semua lawan-lawan yang menghadang, entah itu pemain dari negara lain ataupun sosok yang selama ini jadi teman latihan.
(har)Putra Permata Tegar Idaman
Menggemari bulutangkis dan mengagumi Roberto Baggio sejak kecil. Pernah bekerja di harian Top Skor dan Jakarta Globe. Kini menjadi penulis di kanal olahraga CNN Indonesia
Selengkapnya