Made Mastianta Nadera
Made Mastianta Nadera
Pengajar pada Fakultas Komunikasi dan Desain Kreatif, Universitas Budi Luhur Jakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral di Nottingham University Business School, Nottingham, Inggris dan anggota aktif Doctrine UK, perhimpunan mahasiswa doktoral Indonesia di Inggris.
KOLOM

Berkaca Menangani Bola dari Eropa: Bukan Sekadar Memukuli Suporter

Made Mastianta Nadera | CNN Indonesia
Selasa, 04 Okt 2022 19:00 WIB
Pemahaman pihak berwenang akan psikologi kerumunan, dinamika antar kelompok, dan penanganan yang manusiawi jadi kunci penanganan sepak bola.
Tragedi Kanjuruhan menelan korban hingga lebih dari 120 orang, dan menjadi tragedi sepak bola dengan jumlah korban tewas terbesar kedua di dunia. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --

Tragedi Kanjuruhan yang menelan korban lebih dari 120 orang menyadarkan banyak pihak bahwa ada risiko penyelenggaraan pertandingan bola skala besar. Namun, menunjukkan jari pada keberingasan suporter semata bukanlah bentuk tanggungjawab yang benar.

Menyaksikan pertandingan olahraga merupakan kegiatan sosial yang menegaskan identitas kelompok pendukung. Sepakbola merupakan 'spectator sport' yang populer di seluruh dunia, dan dapat menjadi kebanggaan sebuah negara, meski patut diakui bahwa ada kalanya laga berakhir ricuh dan menampilkan sisi gelap pertandingan olahraga.

Tragedi Kanjuruhan membuat suporter Arema sempat dituding jadi pihak yang memiliki tingkat kekerasan yang tinggi dan seringkali memicu keributan. Ada sebagian pihak yang menuduh bahwa atribusi kata 'mania' dalam Aremania mungkin membuat mereka menjadi berlebihan dalam bereaksi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari segi jumlah korban, tragedi ini menjadi yang paling parah kedua setelah tragedi tahun 1964 di Peru yang menelan korban 328 orang dan 5000 orang terluka. 

Namun apakah tuduhan itu benar adanya?

Di luar fakta bahwa kejadian ini masih dalam penyidikan pihak berwenang sehingga penyebab pastinya belum diketahui, kejadian ini mengingatkan kita pada posisi 'England fans', terutama suporter Liverpool yang dahulu seringkali identik dengan kefanatikan dan dicap membuat onar.

Tragedi Heysel 1985 di Brussel di ajang Piala Eropa antara Juventus melawan Liverpool menewaskan 39 fans Juventus. Namun penyelidikan menunjukkan tragedi ini lebih disebabkan karena robohnya tembok akibat desakan penonton.

Tragedi Hillsborough di Sheffield 1989 dalam laga Liverpool melawan Nottingham Forest membuat 96 suporter tewas terinjak-injak, setelah terjadi over-kapasitas dan pagar pembatas stadion tempat penonton berdiri roboh.

Mei tahun 2022 dalam pertandingan Liga Champion melawan Real Madrid di Paris, fans Liverpool juga dituduh membuat keonaran karena coba masuk dengan menggunakan tiket palsu. Namun akhirnya setelah investigasi lebih lanjut, pihak otoritas Paris mengakui kelalaian mereka dalam pengamanan dan penggunaan gas air mata yang berlebihan.

Dan hal ini suporter bola tidak semestinya selalu dijadikan kambing hitam.

Terpengaruh Kelompok Lain

Sebuah penelitian yang dilakukan Stott dan rekan (Stott, et.,al, 2008) dari University of Liverpool mencoba mematahkan argumen bahwa kekerasan merupakan sifat mendasar dari sebuah kerumunan, dan pihak berwenang hanya dalam posisi untuk mengendalikan kerumunan yang diperkirakan akan memicu keonaran. 

Kedua peneliti ini diketahui banyak mendalami perilaku kerumunan fan sepakbola dengan menggunakan teori Elaborated Social Identity Model (ESIM).

Penelitian ini menemukan bahwa banyak dinamika yang terjadi di antara kerumunan fans dan pihak keamanan.

Dalam situasi seperti ini, kemampuan suatu kelompok untuk mempengaruhi tindakan kelompok lain tergantung pada konteks kelompok-kelompok lain yang ada sekitarnya pada saat itu.

Perilaku pihak keamanan yang ada di lingkungan pada saat yang sama juga bisa menjadi kunci apakah ketegangan akan meningkat atau dapat dikendalikan.

Kehadiran pihak berwenang dengan atribut keras 'riot gear' seperti pentungan, gas air mata dan meriam air seperti diberitakan dalam tragedi Kanjuruhan diperkirakan telah memperparah situasi ketika para fans hendak mengungkapkan kekecewaan atas kekalahan tim.

Mereka merasa ekspresinya dihalangi.

Ketika mereka yang mengekspresikan kekecewaannya dengan melakukan hal yang biasa dilakukan fans seperti bernyanyi dengan keras dalam kelompoknya, lalu kemudian dipukul rata sebagai pihak yang berpotensi memicu keributan, eskalasi tidak dapat dihindarkan lagi.

Peristiwa seperti ini pernah terjadi dalam penanganan fans Inggris sewaktu Piala Dunia di Italia tahun 1990.

Ketika itu polisi Italia menyamaratakan fans keras Inggris yang disebut 'hooligan' dan fan Inggris biasa, yang keduanya awalnya merupakan kelompok yang berbeda. Mereka merasa diperlakukan sama dan menjadi korban perlakuan polisi.

Hal ini membuat dua kelompok yang tadinya berbeda tersebut dipersatukan oleh satu identitas kelompok yaitu sebagai suatu kelompok yang 'kehadirannya tidak dikehendaki' (illegitimacy) dalam konteks hubungan dengan pihak berwenang.

Tanda Tanya untuk Polisi

Kemampuan pihak yang berwenang untuk menakar resiko (risk assessment) dalam kejadian di Kanjuruhan ini juga menimbulkan tanda tanya besar.

Seperti banyak dikutip saksi mata, penggunaan gas air mata (yang semestinya dihindarkan penggunaannya) malah diarahkan ke tribun penonton dan memicu kepanikan ketika orang berebut menghindar dan mencari jalan keluar.

Stott, dalam penelitian tadi, menawarkan jalan keluar lewat pemahaman yang lebih mendalam tentang perilaku suporter sepakbola, dengan memadukan disiplin keilmuan psikologi kerumunan dan policing, untuk mencapai ketertiban umum dan menerapkan prinsip hak asasi manusia.

Salah satu hal yang dapat dipelajari adalah penyelenggaraan Piala UEFA di Portugal 2004 yang ternyata sukses, walaupun dengan kehadiran 'England fans' yang selama ini menjadi momok bagi penyelenggara.

Polisi dan petugas keamanan kala itu menggunakan atribut non-military di kota-kota yang akan menyelenggarakan pertandingan besar.

Secara visual, keberadaan mereka yang low profile dan low impact ini mengkomunikasikan keinginan untuk mencapai kesepakatan pengaturan lebih baik daripada penggunaan atribut high-profile dengan pasukan yang menggunakan atribut keras (pentungan, perisai, dan pelindung kepala), yang seringkali juga dilengkapi dengan kendaraan anti huru hara, yang memberi kesan intervensi dengan kekerasan.

Selain penerapan metode yang non-konfrontasional seperti ini, pemahaman akan kelompok-kelompok yang akan hadir dapat diawali dengan survei terhadap fans tim yang akan bertanding.

Misalnya dengan survei berbasis web serta studi-studi pengamatan (ethnografi) kelompok-kelompok yang akan hadir dalam arena.

Pertandingan olahraga merupakan kegiatan sosial yang dapat merekatkan hubungan antar masyarakat. Walaupun ada sisi gelap yang mungkin terjadi, menghukum dan memberi sanksi bagi para suporter dan timnya bukanlah cara yang tepat untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan suatu pertandingan besar.

Pemahaman pihak berwenang akan psikologi kerumunan, dinamika antar kelompok dan persiapan penanganan yang manusiawi merupakan kunci.

(vws)


[Gambas:Video CNN]
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER