LIPUTAN KHUSUS

Jejak Sejarah Klub di Balik Kehebatan Badminton Indonesia

CNN Indonesia
Kamis, 27 Okt 2022 07:31 WIB
Klub-klub punya peran langsung di balik perkembangan pesat badminton di Indonesia, juga memberikan efek signifikan Indonesia dikenal luas ke penjuru dunia.
Emas pertama Indonesia di ajang Olimpiade dipersembahkan dari cabang olahraga badminton, lewat Susy Susanti yang merupakan pemain binaan PB Jaya Raya. (AFP PHOTO / TOMMY CHENG)

Perkembangan badminton di Indonesia makin menarik karena badminton rutin dipertandingkan di Pasar Malam. Pasar Malam di era itu, hingga era setelah Kemerdekaan, jadi salah satu tempat berkumpulnya banyak orang.

Tan Joe Hok, pebulutangkis Indonesia pertama yang jadi juara All England adalah salah satu sosok yang mengalami perjalanan tersebut.

Tan Joe Hok kecil bergabung di klub bernama Morning lalu permainan apik mengantarnya bergabung dengan klub bernama Blue White, klub yang merupakan cikal bakal Mutiara Bandung.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dulu setiap minggu selalu ada kompetisi antar klub. Puncaknya dimainkan di pasar malam."

"Maklumlah, kala itu, pasar malam menjadi satu-satunya hiburan rakyat di sana. Yang nonton banyak. Ada yang duduk dan berdiri," kata Tan Joe Hok dalam sebuah wawancara dengan CNNIndonesia.com.

Legenda bulu tangkis Indonesia, Tan Joe Hok, menunjukkan berbagai foto yang menjadi saksi perjalanan hidupnya. (CNN Indonesia/Putra Permata Tegas)Tan Joe Hok menimba ilmu di Blue White yang kemudian berubah nama jadi Mutiara. (CNN Indonesia/Putra Permata Tegar Idaman)

Menurut Yacob Rusdianto, salah satu tokoh yang sudah lama berkecimpung di dunia badminton yang juga Ketua PB Suryanaga, di era 50-an dan 60-an, seleksi pemain-pemain untuk bergabung ke pemusatan latihan nasional (pelatnas) PBSI masih dititikberatkan ke daerah-daerah. Dari kejuaraan-kejuaraan daerah, pemain-pemain terbaik kemudian diambil dan diseleksi untuk bergabung ke pelatnas.

"Setahu saya waktu era itu yang paling dominan adalah Pengurus Provinsi [Pengprov]. Jadi PBSI pusat itu memanggil pemain dari pengprov-pengprovnya. Jadi keaktifan Pengprov dan atlet daerah yang jadi barometer."

"Bisa dibilang di era 50-an klub masih sedikit. Bicara soal tahun 50-an, belum ada klub-klub yang saat ini dikenal sebagai klub besar," tutur Yacob.

Sedangkan Imelda Wiguna, juara dunia ganda campuran 1980, menyebut aktivitas pemilihan pemain untuk pelatnas saat itu dilihat dari kejuaraan skala nasional seperti Pekan Olahraga Nasional (PON). Tiap pengiriman atlet keluar negeri juga didahului seleksi ketat di tingkat daerah dan berlanjut ke tingkat nasional.

"Dulu itu kebijakannya kalau mau dikirim ke luar negeri harus seleksi. Jadi klub mengirimkan atlet terbaik untuk seleksi."

"Waktu itu PON juga jadi acuan. Saya terpilih lewat skema panduan bakat di PON," kata Imelda.

Imelda Wiguna Pembina PB Jaya RayaImelda Wiguna sukses merebut gelar juara dunia ganda campuran 1980 dan kini masih aktif dalam upaya regenerasi badminton Indonesia. (CNN Indonesia/Adi Maulana Ibrahim)

Dari deretan klub-klub yang kemudian rutin menyumbang pemain dari generasi ke generasi di Indonesia, PB Tangkas lahir di tahun 1951. POR Suryanaga sudah berdiri sejak 1908 namun menurut Yacob baru makin menggeliat di era 60-an. Di era 70-an, muncul PB Djarum dan PB Jaya Raya.

Pada akhir era 80-an, berdiri PB Sangkuriang Graha Sarana (SGS) di Bandung. Sedangkan di era terkini, PB Exist yang lahir di 2011 jadi salah satu klub anyar yang bisa menyumbang banyak pemain ke Pelatnas Cipayung.

"Kalau menurut saya, yang paling membuat klub-klub dari daerah itu lebih bergairah adalah ketika Pak Try Sutrisno jadi ketua Umum PBSI. Saat itu beliau ingin seluruh daerah memiliki Puslatda (Pusat Pelatihan Daerah). Pak Try sadar di daerah itu ada klub besar, klub kecil, klub mampu, dan klub tidak mampu."

"Dengan kehadiran pelatda, klub-klub ada di bawah satu naungan dengan fasilitas yang sama, kualitas yang sama, tetapi tidak mengharuskan mereka pindah klub. Hal itu kemudian membuat pemain bisa pergi ke pertandingan dengan biaya Pusatlda," ucap Yacob.

Sedangkan menurut Ketua PB Djarum Yoppy Rosimin, meskipun klub-klub sudah berjamuran sejak dulu, namun kuantitas pertandingan masih minim. Yoppy menyebut era 80-an sebagai titik tolak klub-klub di Indonesia bergerak lebih serius.

"Di era 60-an, kompetisi antarklub masih minim sekali. Jadi cara pemain untuk bertanding adalah kompetisi duel antarklub. Kami pergi ke Pekalongan, Semarang, Cirebon dan lain-lain."

"Hal itu berlaku sampai tahun 80-an dan klub-klub muncul lebih serius. Mulai ada turnamen sejak itu," tutur Yoppy.

Seiring klub-klub yang makin berperan profesional, klub-klub pun makin berperan vital pada berjalannya regenerasi badminton dalam beberapa dekade terakhir.

Pada tiap cerita pebulutangkis hebat dan legenda yang ada di Indonesia saat ini, sepotong cerita perjuangan mereka di klub akan selalu abadi bersama nama besar mereka.



(ptr/har)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER