LIPUTAN KHUSUS

Keringat Orang Tua Ginting dan Mereka yang Buka Jalan Mimpi Anak Juara

CNN Indonesia
Jumat, 28 Okt 2022 09:15 WIB
Perjalanan dari atlet muda hingga menjadi atlet kelas dunia demikian berat dan panjang. Peran orang tua sangat besar membuatnya jadi lebih ringan.
Anthony Ginting meniti jalan panjang hingga berada di posisi sekarang. (AP/Hiro Komae)

Edison Ginting masih ingat jelas momen ia mengantar sang putra, Anthony Sinisuka Ginting ke GOR Putra Intan, tempat SGS Cijerah menggelar latihan.

Saat itu Edison harus pandai mengatur waktu dengan sang istri, Lucia untuk menemani Ginting berlatih.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya biasanya mengantar (latihan) saja, lalu saya drop. Kalau ada waktu kosong, baru saya lihat. Kadang juga gantian, kadang saya, kadang mamanya," tutur Edison.

Ketika mengantar Ginting berlatih di SGS, impian Edison untuk sang anak tidak langsung disusun menjulang tinggi.

"Awalnya saya melihat untuk optimalisasi bakat saja, karena kakak-kakaknya atlet semua, apalagi istri saya berpikir bahwa pendidikan itu harus jadi nomor satu. Walaupun begitu, istri saya tetap mendukung dan mengantar Anthony latihan," kata Edison.

Edison menilai bahwa fokus Ginting untuk punya mimpi tinggi di badminton mulai terlihat ketika ia bisa berprestasi di kejuaraan level kotamadya.

"Begitu umur sembilan tahun dapat peringkat ketiga se-Kotamadya, sudah mulai tertarik. Masuk umur 10 sudah benar-benar tertarik."

Edison lalu menguji keseriusan Ginting terhadap badminton dengan sejumlah tantangan yang harus ditaklukkan. Edison pernah meminta Ginting lari 7 km sepulang sekolah dan hal itu dilakukan oleh sang anak.

Tak hanya itu, Edison juga menilai keseriusan Ginting dengan tugas sekolah dan waktu bermain bersama teman.

"Setelah pulang sekolah saya tanya, 'Ada PR tidak? Kalau ada, kerjakan dulu dan kalau tidak selesai tidak boleh latihan'. Dia mau melakukannya dan itu ciri-ciri kalau seorang anak benar-benar tertarik."

"Kemudian kalau di rumah, teman-temannya suka main sepeda, petak umpet, dan sebagainya. Saya pancing dia dan tanya, 'Kamu mau main enggak?'. Dia bilang tidak usah dan pilih main di GOR," kata Edison.

Anthony Ginting bersama Edison Ginting. (Arsip Edison Ginting)Edison Ginting mendalami badminton begitu tahu Anthony Ginting berminat pada olahraga tersebut dan punya cita-cita menjadi pemain kelas dunia. (Arsip Edison Ginting)

Melihat keseriusan Ginting, Edison pun mulai lebih serius mempersiapkan diri. Edison memperkaya pengetahuannya tentang pembinaan badminton usia dini dan olahraga secara umum. Ia bahkan lalu masuk dalam kepengurusan di SGS camp Cijerah.

Sebagai anak, Ginting sempat mengalami masa-masa menjauh dari bulutangkis. Ginting sempat menikmati momen bermain futsal. Selain itu Ginting juga aktif mengikuti lomba renang.

Menghadapi situasi tersebut, Edison tidak panik. Bagi Edison, semua hal tersebut semacam ujian keseriusan bagi Ginting sendiri terhadap dunia badminton.

"Paling kalau sudah terlalu lama tidak latihan bulutangkis, saya tanya, 'Enggak kangen latihan sama teman-teman?' Begitu saja."

"Saat SMP itu pula, Ginting ikut mendapat beasiswa Indonesia Emas dari Kemenpora. Satu anak mendapat Rp5 juta per bulan. Saat itu saya melihat pemerintah memperhatikan potensi anak. Dari situ, Anthony mulai rutin mengikuti sirkuit nasional dan turnamen lainnya," ujar Edison.

Menahan Ekspektasi Berlebih

Walaupun Ginting menunjukkan sinyal-sinyal kehebatan seiring sejumlah prestasi yang diukir, Edison tetap memilih menahan ekspektasi berlebihan terhadap putranya.

"Saya bilang ke dia kalau usia 15 tahun belum berprestasi secara nasional, dia harus fokus dan kembali ke sekolah. Dia setuju dan itu jadi targetnya."

"Nyatanya, di usia 14 tahun dia sudah bisa juara di level nasional," tutur Edison.

Performa apik Ginting membuat ia mendapat panggilan ke Pelatnas Cipayung di usia 16 tahun. Masuk ke Pelatnas Cipayung di usia belia, orang tua Ginting mengaku masih menyimpan kekhawatiran.

Terlebih, ketika Ginting masuk Pelatnas Cipayung adalah kali pertama Ginting tinggal di asrama dan jauh dari orang tua. Selama berlatih di SGS, Ginting tidak merasakan kehidupan asrama.

"Dia masuk Pelatnas saat SMA kelas 1. Jadi menurut kami dia harus tamat SMA. Makanya setiap hari Sabtu kami ke Cipayung, antar modul pelajaran dan ambil yang sudah dikerjakan sama dia. SMA dia masih SMA 4 Bandung dan kami terus seperti itu sampai dia tamat sekolah."

"Saat berkunjung kami juga berbincang tentang bagaimana kehidupannya. Awalnya kamarnya itu tidak pernah diatur. Tiap Sabtu kami datang, kamarnya berantakan," ucap Edison seraya tertawa.

"Tetapi pelan-pelan dia bisa menata dan rapi."

Tahun demi tahun berlalu, Ginting tumbuh jadi salah satu tunggal putra terbaik di dunia saat ini. Ia mampu menyabet medali perunggu Olimpiade Tokyo 2020 sebagai torehan terbaiknya.

Pebulutangkis tunggal putra Indonesia Anthony Sinisuka Ginting mengembalikan kok ke arah pebulutangkis Thailand Boonsak Ponsana pada Turnamen Axiata Cup 2014 di Britama Sport Mall, Jakarta, Rabu (3/12). Anthony menang 9-21, 21-10, 21-10. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/Koz/ama/14.Ketika masih baru masuk Pelatnas Cipayung, orang tua Anthony Ginting rutin berkunjung ke Pelatnas demi memantau sang anak, termasuk soal belajar. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

Walaupun Ginting sudah tumbuh besar, Edison dan Lucia terus menyediakan ruang dan waktu bagi Ginting untuk bercerita. Tidak hanya tentang badminton, melainkan juga tentang kehidupan Ginting secara keseluruhan.

"Karena saya setiap hari mengikuti perkembangannya, saya tidak kaget saat Anthony akhirnya bisa meraih prestasi di Olimpiade. Dia mengikuti semua proses dan tiba di titik yang baik."

"Dia tidak mengeluh kalau dilatih, dia ikuti semua program dimakan semua. Dia ikuti proses dan jadilah dia [meraih prestasi]. Campur tangan Tuhan juga besar sekali," ucap Edison.

Dalam rangkuman perjalanannya mendampingi Ginting, ada hal yang bisa disampaikan oleh Edison tentang peran orang tua dalam kiprah anak meniti karier sebagai pebulutangkis.

"Orang tua harus menginspirasi badminton itu seperti apa ke anak. Setelah anak paham, beri motivasi. Ketiga, dampingi. Ngobrol dan cerita. Lalu fasilitasi. Butuh sepatu, butuh apa. Itu saja."

"Perkara menang atau kalah, saya tidak pernah marah karena saya tahu anak juga mau menang. Paling saya tanya kenapa kalah, tetapi saya tidak pernah kecewa. Kalah harus diterima tetapi harus tahu kenapa kalah agar paham hal-hal yang harus dibetulkan," ujar Edison.



(ptr/har)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER