TESTIMONI

Risdianto: Lawan Pele dan Cerita Balik Layar Timnas

Risdianto | CNN Indonesia
Rabu, 19 Okt 2022 19:00 WIB
Mantan pemain Timnas Indonesia Risdianto menceritakan momen langka bermain melawan Pele yang memperkuat Santos tahun 1972.
Mantan pemain Timnas Indonesia Risdianto pernah menjajal kemampuan legenda sepak bola dunia Pele. (Arsip Istimewa)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pengalaman berkesan saya rasakan saat Timnas Indonesia menghadapi Santos dalam laga uji coba di Stadion Gelora Bung Karno pada 1972.

Ketika itu kami menghadapi Santos yang diperkuat oleh Pele, bintang besar sepak bola dunia pada zamannya. Pesepakbola yang secara pribadi juga begitu saya idolakan.

Kami kalah 2-3 di pertandingan tersebut dan saya memborong semua gol timnas. Namun meski bisa dua kali membobol gawang Santos, saya tidak terlalu menikmati pertandingan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jujur fokus saya ketika itu hanya melihat bagaimana cara Pele bermain. Sebagai pemain yang mengidolakan dan sama-sama berposisi sebagai penyerang, saya ingin menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari pertemuan singkat tersebut.

Saya yang masih berusia 22 tahun terus memperhatikan betul gerak-gerik Pele di lapangan hijau. Saat berjalan saja, Pele tampak begitu anggun di mata saya. Di lapangan saat Timnas diserang, semua terpaku melihat gerak-gerik Pele.

Di lapangan Pele bermain begitu sederhana. Tidak banyak trik yang ia perlihatkan. Hanya momen-momen tertentu saja.

Jadi tidak setiap saat ketika menguasai bola, Pele menunjukkan kalau dirinya adalah seorang Pele, bintang besar di sepak bola dunia.

RisdiantoRisdianto jadi pemain langganan Timnas Indonesia era 1970-an. (Arsip Istimewa)

Pele malah banyak bermain satu sentuhan dan main sederhana saja di laga uji coba ini. Dari situ saya saya sebagai pemain muda dapat pelajaran bahwa permainan sederhana itu yang terbaik.

Bagian lain yang paling saya ingat ketika Pele mengeksekusi tendangan penalti. Tidak banyak gaya yang dia tunjukkan. Ancang-ancangnya bahkan hanya satu langkah saja sebelum membobol gawang Timnas.

Begitu pertandingan berakhir, saya punya keinginan untuk bisa bertukar kostum dengan Pele tetapi tidak kesampaian. Seingat saya, Pele bertukar kostum dengan Jacob Sihasale, senior saya di Timnas Indonesia.

Saya sebenarnya sangat ingin bertukar kostum dengan Pele tetapi ya sudah ada Jacob Sihasale. Karena dia pemain senior maka pemain senior yang dapat duluan ha..ha..ha..

Saya juga terbilang beruntung karena tidak hanya bisa bertemu pemain kelas dunia seperti Pele semasa aktif. Kesempatan bertemu Franz Beckenbauer dan Johan Cruyff juga saya dapatkan.

Beckenbauer datang saat mendekati akhir kariernya. Sedangkan Cruyff masih sangat bagus pergerakannya, saat kami melawan mereka. Dia seperti ada di mana-mana saat bermain di lapangan, tidak kenal capek.

Dari pengalaman bertemu tiga pemain besar itu, pelajaran terbesar yang saya dapat tetap saat bermain satu lapangan bersama Pele. Pengalaman singkat menimba ilmu langsung dengan pemain idola yang penuh kesan.

Tetapi jangan dikira perjuangan saya mudah untuk bisa bermain satu lapangan dengan Pele. Perjuangan untuk bisa memperkuat Timnas pada zaman itu bukan perkara mudah. Persaingannya ketat.

Saya ingat betul awal masuk Timnas hanya sebagai penghangat bangku cadangan. Saya jadi pengganti pemain asal Persebaya Surabaya, Waskito, jika ditarik keluar oleh pelatih.

Kemudian perlahan saya bisa menembus posisi inti dan giliran Waskito yang jadi pemain cadangan. Setelah itu Waskito digeser bermain sebagai pemain di kanan luar dan Iswadi Idris yang biasa menempati posisi tersebut diplot sebagai gelandang tengah.

Persaingan di Timnas masa itu kental unsur kedaerahan. Ada kelompok pemain Persija, Persebaya, PSMS, hingga PSM. Saat latih tanding permainan cenderung keras menjurus kasar karena kental unsur kedaerahan tadi.

Contohnya kalau ada pemain dari Medan yang dilanggar oleh pemain dari Surabaya maka pemain Medan yang lain akan membalas. Pemain dari tim yang sama juga akan berlaku sama karena cenderung unsur kedaerahan itu.

Kalau dibandingkan pemain pada zaman itu dan sekarang, memang yang saat ini dari segi skill lebih bagus. Bisa dikatakan lebih komplet pemain era sekarang.

Bedanya pemain dulu karakternya lebih unggul, lebih ngotot. Modal skillnya sedikit tapi berani bertarung melawan pemain manapun.

Semasa memperkuat Timnas, saya juga merasa paling cocok bermain dengan Ronny Pattinasarani dan Iswadi Idris. Dua pemain yang juga jadi rekan saya di Persija.

Saat bermain di klub saya lebih banyak sekamar dengan Iswadi. Akan tetapi saat dipanggil memperkuat Timnas maka saya kerap sekamar dengan Ronny.

Kedekatan itu terbawa ke lapangan dan dampaknya positif. Meskipun ada sisi menarik karena Ronny dan Iswadi sebenarnya selalu berbeda pendapat. Kedua pemain ini sulit akur meski tidak pernah bertengkar.

Banner Testimoni

Ini kisah yang saya jarang ceritakan. Ronny dan Iswadi tidak pernah ada masalah tetapi entah kenapa sulit cocok. Mereka tidak bisa jalan berdua atau sekadar ngobrol.

Tidak akurnya kedua pemain ini sampai ke lapangan. Saat bermain Ronny akan lebih memilih untuk mengumpan saya daripada memberikan bola kepada Iswadi.

Iswadi juga sama. Bisa dikatakan hampir tidak pernah memberikan umpan kepada Ronni kecuali dalam keadaan terpaksa.

Jadi saya yang diuntungkan karena pilihan pertama saat Ronny dan Iswadi mengumpan bola akan diberikan kepada saya. Pemain dulu sudah tahu dua orang ini tidak cocok, makanya sudah bukan hal aneh.

Mungkin frekuensi kedua pemain ini memang berbeda. Iswadi karakternya meledak-ledak sedangkan Ronny lebih tenang meski bisa meledak juga.

Saya menghabiskan waktu satu dekade yang menyenangkan bersama dua pemain hebat ini, baik itu di timnas maupun di klub.

Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya>>>

Tolak Tawaran Klub Juara Hong Kong

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER