Jakarta, CNN Indonesia --
Per Juni 2022, jumlah penduduk Indonesia adalah 275.361.267 jiwa. Mengapa dari jumlah itu begitu sulit mencari 11 pemain Timnas Indonesia yang berprestasi?
Jika jumlah penduduk menjadi acuan, China dengan 1,412 miliar jiwa seharusnya menjadi juara dunia sepak bola, disusul India dengan 1,38 miliar penduduk, dan Amerika Serikat yang berpopulasi 331,9 juta jiwa.
Argentina yang berpenduduk 45,81 juta jiwa pun tidak akan meraih gelar Piala Dunia 2022. Begitu halnya Prancis sebagai juara edisi 2018 dan ditaklukkan Argentina pada laga final, hanya berpopulasi 67,75 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun sepak bola bukan soal jumlah penduduk. Prestasi sepak bola sangat terkait dengan skala prioritas negara.
Amerika dan China misalnya, bukan negara penggemar sepak bola. Itu mengapa mereka jawara di cabang olahraga lainnya. Keduanya adalah raja yang saling mengejar dalam pesta olahraga dunia, Olimpiade.
Status Indonesia yang 'terbelakang' di olahraga kira-kira hanya mirip dengan India. Negeri seribu dewa itu hanya menonjol di olahraga kriket, sedangkan negeri kepulauan ini bisa bangga dengan prestasi bulutangkis.
Masalahnya bulutangkis bukan olahraga nomor satu di Indonesia. Olahraga nomor satu nusantara, yang itu telah dibuktikan sejumlah penelitian dari dalam dan luar negeri, adalah sepak raga alias sepak bola.
Pemerintah Indonesia pun sangat paham dengan fakta tersebut. Semua presiden Indonesia, dari Soekarno hingga Joko Widodo, sadar bahwa sepak bola merupakan olahraga yang paling digemari atau dicintai.
Sayangnya belum ada langkah strategis untuk membesarkan olahraga nomor satu ini. Sepak bola mungkin bukan anak tiri dibanding cabang olahraga lainnya, tetapi sepak bola tidak dibina dengan serius layaknya olahraga prestasi.
 Indonesia bisa membangun stadion besar, namun kerap terkendala dalam melakukan perawatan. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc) |
Lapangan sepak bola berkualitas contohnya, hanya belasan jumlahnya di penjuru negeri. Stadion besar mungkin ada di setiap provinsi, tetapi kondisinya hanya bagus saat ada pesta, semisal PON, SEA Games, atau Asian Games.
Beberapa bulan setelah pesta niscaya kondisinya memprihatinkan. Tentu tidak seluruhnya, tetapi mayoritas begitu.
Negara belum benar-benar ikut membangun sepak bola sebagai cabang olahraga nomor satu bangsa. Bahkan sebagai sebuah industri pun belum. Arah menuju industri sudah, tetapi untuk jadi industri belum sepenuhnya.
Presiden Joko Widodo memang telah mengeluarkan Inpres nomor 3 tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Sepakbola Nasional, tetapi pelaksanaannya belum optimal. Inpres ini bahkan terasa nyata sampai terjadi Tragedi Kanjuruhan.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Usia PSSI sebagai federasi sepak bola sudah 92 tahun. Ini usia yang lebih tua ketimbang negeri ini. Namun demikian PSSI masih seperti anak ingusan yang masih duduk di sekolah dasar.
Sebagai sebuah federasi, PSSI menjadi pusat pengelolaan sepak bola dalam negeri. Karena sifatnya yang independen, pemerintah tidak bisa semena-mena ikut mengatur. Dalam hal ini pemerintah dan PSSI dibatasi koridor sinergi dan simbiosis mutualisme.
Dalam usia yang sudah 92 tahun, PSSI tidak punya kantor sendiri. Sampai sekarang masih menyewa dan pindah-pindah. Dan, yang lebih penting, PSSI tak punya lapangan pusat pelatihan atau training center Timnas Indonesia.
Ini soal skala prioritas. Selama PSSI belum menganggap training center sebagai sebuah ekosistem wajib, infrastruktur paling penting Timnas Indonesia ini kiranya akan sulit maju dan berkembang.
Jika berkaca dalam dua dekade terakhir, training center hanya jadi lipstik saat pencalonan. Begitu sudah terpilih hal ini tak kunjung diwujudkan. Selalu ada saja kendala dan persoalan yang dijadikan alibi sebagai penghalang.
Selanjutnya kompetisi. Liga sepak bola Indonesia sebagai anak kandung PSSI memang berjalan setiap musim. Hanya saja jalannya liga tidak berjalan mulus. Ada saja aral yang membuat kompetisi tidak berlangsung optimal.
 Kompetisi lokal belum bisa maksimal mendorong sukses tim nasional. (Antara Foto/Hendra Nurdiyansyah) |
Kompetisi sepak bola sebagai sebuah industri tak didukung kebijakan sehat dan menyehatkan. Klub kontestan kompetisi pun tidak dipagari dengan syarat-syarat tegas dan mengikat sebagaimana diatur FIFA dan AFC.
Lisensi AFC sepertinya hanya formalitas kertas dan aktivitas. Arema FC dengan Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 yang menelan 135 korban jiwa adalah bukti nyata. Arema dapat lisensi, tetapi kualitas verifikasinya meragukan.
Strata kompetisi yang dijalankan PSSI juga belum optimal. Kini PSSI hanya punya dua strata kompetisi profesional dan satu strata semi profesional, yaitu Liga 1, 2, dan 3.
Kompetisi usia muda menjanjikan dengan Elite Pro Academy dari usia 15 hingga 19. Namun pada prakteknya tak cukup memberikan jam terbang untuk mengasah bakat dan tekad para bibit masa depan. Durasi kompetisi masih terlalu pendek.
Adagium, 'kompetisi yang bagus akan melahirkan Timnas yang mulus, dan pembinaan yang mapan akan melahirkan prestasi masa depan,' kiranya belum tergambar dalam kinerja PSSI.Perbaikan kompetisi berjenjang dan berkualitas menjadi harga mati, jika ingin permainan Timnas Indonesia bisa dinikmati.
Sebaliknya langkah-langkah instan yang ditempuh. Carter pesawat untuk Timnas Indonesia misalnya bisa diusahakan, tetapi membangun lapangan latihan belum mampu. Naturalisasi dilakukan, namun atlet lokal tak diberi medan tempur yang teruji.
Karenanya jumlah sumber daya manusia sebanyak 275 juta jiwa belum akan menghasilkan prestasi sepak bola. Olahraga ini bukan hanya soal kinerja individu, tetapi juga sistem yang dilaksanakan secara kolektif oleh negara, federasi, pelatih, dan pemain, juga suporter.
[Gambas:Video CNN]