Saya lahir di Solo 20 Agustus 1969 dan suka badminton dari kecil karena saya tumbuh di keluarga bulutangkis. Kakak dan orang tua saya main badminton, tapi untuk level di Solo saja.
Sejak usia lima tahun, saya sudah nampel-nampel. Waktu itu masih main di lapangan outdoor. Lapangan beralas tanah, main di mana saja, seperti itu. Karena saya termasuk orang dari kampung.
Pertama ikut klub, saya ikut klub di tempatnya mas Joko Suprianto. Klub Purnama. Saat Mas Joko juara pemula nasional, saya masih ikut-ikut main badminton saja, belum serius.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oh iya, saya dan Mas Joko bukan kakak-adik, walaupun nama belakang kami sama. Saya memang ikut klub bapaknya Mas Joko dan saya memang dekat dengan keluarga Mas Joko tetapi bukan kakak-adik.
Setelah main saya agak lumayan, saya gabung ke klub Abadi Solo. Selain Mas Joko, pemain tenar lain yang sempat berlatih di Abadi adalah Icuk Sugiarto dan Gunawan. Untuk ukuran zaman itu, klub Abadi termasuk yang paling terkenal di Solo dan menghasilkan beberapa legenda.
Sampai usia 16 tahun, saya masih tetap di Abadi Solo sedangkan teman-teman lain sudah banyak yang hijrah ke Jakarta atau Kudus.
![]() |
Di usia 16 tahun, saya ikut Kejuaraan Jawa Tengah. Saya juara di nomor ganda dan kalah di perempat final pada nomor tunggal. Setelah juara Jawa Tengah, saya bergabung dengan Jaya Raya. Saat di Jaya Raya, saya masih bermain di nomor tunggal dan ganda. Untuk level turnamen Jakarta, saya bisa juara di dua nomor tersebut.
Di akhir 1987, saya mulai bisa juara di turnamen level nasional namun belum juga bisa masuk pelatnas PBSI.
Ujian terberat bagi karier saya itu ada di 1987 dan 1988 karena dari segi usia otomatis saya sudah masuk kategori senior. Dalam situasi itu, sebenarnya berat juga untuk bisa masuk ke Pelatnas PBSI.
Pada 1988, ada Indonesia Open, sebagai pemain di luar Pelatnas saya bisa masuk 16 besar dengan mengalahkan pemain top Inggris dan Malaysia. Saat itu saya berusia 19 tahun.
Penampilan saya yang dianggap bagus itu yang kemudian membuat saya dipanggil masuk ke Pelatnas. Mungkin karena dinilai saya punya potensi, masih 19 tahun tetapi bisa mengalahkan pemain internasional. Akhirnya saya masuk Pelatnas PBSI.
Masuk ke pelatnas, di angkatan saya, saya paling belakangan karena pemain seusia saya sudah banyak yang lebih dulu masuk pelatnas. Karena itu seperti yang saya katakan sebelumnya, berat untuk bersaing bila tidak punya tekad dan usaha mati-matian.
Tahun pertama agak berat karena saya masih butuh penyesuaian lantaran baru merasakan level latihan di pelatnas. Saya harus bisa bersaing dan menunjukkan kemampuan karena ada ancaman terkena degradasi walau baru setahun ada di sana.
Saya menilai saya punya sedikit keistimewaan khusus. Saya punya kemampuan fisik yang jauh lebih bagus dari teman-teman, punya serangan yang lebih kencang dibanding teman-teman.
Walaupun kelincahan saya di lapangan tidak sebagus teman-teman lain, tetapi fisik dan serangan saya bagus. Saya punya keyakinan dari hal tersebut dan merasa bisa bersaing dengan yang lain
Di zaman 90an, tunggal putra Indonesia sempat dijuluki Tujuh Pendekar karena kami bertujuh sempat masuk perempat final dalam sebuah turnamen. Tujuh pendekar yang waktu itu adalah Eddy Kurniawan yang paling senior, lalu Joko Supriyanto, Alan Budikusuma, Ardy B. Wiranata, Hermawan Susanto, Fung Permadi, dan saya. Hariyanto Arbi belum masuk pelatnas saat itu.
Semasa jadi pemain tunggal, saya pernah jadi juara Singapore Open dan menduduki posisi nomor tujuh dunia hingga akhirnya beralih ke nomor ganda putra pada 1992.
![]() |
Tetap Mengkilap di Ganda Campuran
Setelah berpisah dengan Gunawan usai Olimpiade 1996, saya sempat ingin dicoba dengan Candra Wijaya sebelum Candra akhirnya dipasangkan dengan Sigit Budiarto. Pada akhirnya, karena setelah itu saya kurang berprestasi di nomor ganda putra.
Lalu saya melihat di nomor ganda campuran tidak banyak pemain, hanya ada Tri Kusharjanto. Di bawah Trikus, tidak ada pemain.
Karena saya sudah senior, saya bisa cover, di lapangan saya bisa kuat, saya yakin bisa bersaing.
Di nomor ganda campuran, saya bisa menunjukkan bahwa saya tetap berprestasi. Berpasangan dengan Rosalina, Zelin Resiana, Emma Ermawati, saya bisa juara.
Saat berpasangan dengan Minarti Timur, prestasi saya malah makin bagus. Saat itu Minarti sudah dipisah dengan Trikus karena Trikus mulai dipasangkan dengan pemain muda.
Bersama Minarti, saya bisa juara Asia dan menembus peringkat tiga dunia. Di atas saya, ada Kim Dong Moon/Ra Kyung Min dan Liu Yong/Ge Fei.
Salah satu momen berkesan bagi adalah ketika bersama Trikus juara Asia di nomor ganda putra pada 2001. Itu salah satu sejarah saya bilang. Karena 2001 saya mengalahkan Candra/Tony yang juara Olimpiade. Padahal saat itu saya sempat lebih dulu main di final ganda campuran bersama Minarti Timur melawan Kim Dong Moon/Ra Kyung Min.
Ternyata jalan karier saya seperti itu. Walaupun saya tidak di ganda putra, di ganda campuran juga bisa berprestasi. Di ganda putra pada 2001 ternyata
bisa berprestasi sampai akhirnya bisa kembali masuk skuad Thomas Cup 2002.
Ada kebanggaan lain dalam diri saya karena selama saya main beregu, baik di Thomas Cup maupun Sudirman Cup, saya tidak pernah kalah. Waktu main di Sudirman Cup 2001, saya dan Minarti malah sempat mengalahkan Zhang Jun/Gao Ling yang waktu itu juara Olimpiade. Memang sayang, saya belum bisa membawa Indonesia juara Piala Sudirman. Bahkan Indonesia belum juara Piala Sudirman lagi hingga saat ini.
Setelah pensiun jadi pemain, saya kemudian melanjutkan karier sebagai pelatih. Saya pernah jadi pelatih di Pelatnas Cipayung dan memegang sektor ganda putra pratama, ganda putri utama, tunggal putri pratama, dan tunggal putri utama. Selebihnya, saya berkiprah jadi pelatih di PB Jaya Raya.
Saya sempat nomor tujuh dunia di tunggal putra, nomor satu dunia di ganda putra, dan nomor tiga dunia di ganda campuran. Sebenarnya tidak ada rahasia soal keberhasilan saya bisa berprestasi melainkan kebiasaan sejak zaman muda saya saja.
![]() |
Memang hampir tidak ada pemain yang bisa tetap juara setelah peralihan dari tunggal ke ganda. Saya tidak menyombongkan diri, yang bisa mungkin cuma Christian Hadinata. Koh Chris juga yang kemudian jadi patokan saya.
Bila Pak Christian Hadinata saja bisa, kenapa saya tidak bisa?
Yang penting usahanya, tekadnya seperti apa. Itu saja patokan saya. Soal prestasi nantinya seperti apa, Wallahualam. Allah yang memberi jalan. Istilahnya seperti itu.
Untuk zaman sekarang, makin tidak mungkin bagi pemain tunggal rangkap ganda saat masih junior. Karena saat ini situasinya sedikit berbeda dibanding sebelumnya. Yang merangkap tunggal dan ganda tidak akan kuat karena permainan lebih cepat dan pasti akan terhenti di tengah jalan.
Sekarang di usia remaja, rata-rata atlet sudah dikhususkan tunggal dan ganda. Soalnya kalau mereka masih fokus di dua nomor, mereka akan kelelahan dan sulit mendapatkan prestasi terbaik.
Otomatis dengan begitu target ranking nasional tidak tercapai, pantauan dari pelatih Pelatnas juga tidak bisa didapat, otomatis rugi. Makanya sejak kategori remaja, tunggal dan ganda sudah benar-benar dibuat fokus sendiri. Paling hanya ada rangkap di nomor ganda putra atau ganda putri ke nomor ganda campuran. Tidak lagi rangkap nomor tunggal dan ganda.
Karena itu untuk zaman sekarang, peralihan pemain tunggal ke ganda dan bisa tetap berprestasi ketika usia dewasa bakal susah, hampir tidak mungkin.