Salah satu cita-cita yang membuat saya kepingin sukses di tenis adalah mensejahterakan keluarga.
Karena sejak dulu itu turnamen tenis hadiahnya besar-besar, baik di nasional maupun internasional. Kamu mesti juara. Kalau juara juga bakal didekati sponsor.
Kalau tidak juara siapa yang mau memberikan sponsor. Saya itu dulu pakai raket dibayar, baju dibayar, sepatu dibayar sama sponsor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya itu dulu hidupnya prihatin, susah. Bapak saya cuma PNS (pegawai negeri sipil), guru olahraga pula. Bapak saya guru olahraga di Sekolah Tinggi Olahraga (STO), kalau di sini namanya UNJ.
Tahu sendiri kan PNS seperti apa. Sedangkan kebutuhan kita itu sepatu cepat habis, senar raket sering putus. Raket saya itu berapa kali senarnya putus.
Akhirnya dari situ saya bertekad mau berhasil di tenis. Maka dari itu saya punya daya juang yang lebih bagus daripada anak-anak yang orang tuanya lebih mampu kehidupannya.
Saya kenal tenis usia sembilan tahun, karena bapak saya guru olahraga. Kalau buat sekarang umur sembilan itu sudah terlambat. Karena banyak anak umur 10 tahun sudah punya ranking bagus-bagus.
Bapak saya itu atlet senam, orang latihannya saja pernah sampai ke China, ada fotonya. Jadi karena bapak saya itu guru olahraga, saya bisa beberapa cabang olahraga.
![]() |
Waktu SD itu saya multisport. Saya karate disuruh latihan, tenis meja saya juga bagus. Atletik juga bisa. Tapi saya merasa di tenis saya juga bagus.
Lalu di Jawa Timur itu ada klub sepak bola Yanuar Pribadi. Nah istri Yanuar Pribadi itu atlet tolak peluru nasional, karena saya di atletik juga akhirnya dikasih saran.
"Kamu tuh main tenis saja. Saya lihat bakat kamu ada di tenis," katanya. Jadinya saya menekuni tenis.
Lalu saya dapat panggilan ke Ragunan usia 18, sekitar tahun 1978. Padahal saya belum dapat gelar juara juga di daerah, masih kalahan. Cuma masuk semifinal-semifinal saja. Orang tua saya akhirnya mengizinkan saya ke Ragunan. Katanya karena bakat saya di olahraga, ya sudah tekuni olahraga.
Sementara adik-adik saya bakatnya di akademik, karena akhirnya dua adik saya masuk ITS dan satu lagi di Universitas Airlangga. Sedangkan saya cuma lulusan Ragunan.
Tapi di tenis itu yang penting mesti punya impian, punya tekad yang besar, dan mental yang kuat. Mental kuat karena fisik kuat, mental lemah karena fisik lembek.
Dulu ke mana-mana saya naik bus atau naik opletnya Si Doel itu lho, naik Mayasari, naik PPD. Dari Ragunan ke Monas, ke Senayan naik bus turun di Pintu I jalan kaki.
Anak sekarang mana ada jalan kaki nenteng raket. Zamannya memang beda, tapi mentalnya juga beda. Aduh dulu itu saya mau makan mie di pinggir jalan saja susahnya minta ampun.
Dari Ragunan, karena prestasi saya bagus, akhirnya dipanggil ke Pelatnas. Atlet zaman dulu juga sebenarnya godaannya banyak.
Bagus sedikit, banyak Wags-nya, ya sudah jangan diladenin, kita karier dulu. Kita mesti susah-susah dulu baru sukses, jangan senang-senang dulu nanti lupa daratan, sudah hancur, fokusnya gak ada. Dulu saya lihat atlet-atlet lain pacaran, saya enggak.
Tahun 1978 masuk pelatnas, tahun 1979 saya tidak masuk skuad SEA Games, baru tahun 1981 saya masuk tim SEA Games 1981 di Manila. Tahun 1981 itu kami dapat medali emas beregu SEA Games.
Keluarga saya senang sekali waktu itu, bangga mereka. Kan karena mereka juga yang bikin kita berhasil. Nama orang tua di kampus sekolah di kampus mengajarnya itu (Sekolah Tinggi Olahraga Surabaya) ikut terangkat.
Pokoknya dari tenis, kalau prestasi kita bagus, keluarga sejahtera. Selama hasil dari tenis saya bisa belikan baju adik-adik saya yang bagus-bagus, belikan sepeda motor.
Semua itu yang penting kita bisa mengatur diri ini dengan baik. Manajemen hidup saya itu selama jadi atlet tenis bagus, di dalam maupun di luar lapangan. Makanya saya enggak pernah kalah konyol.
Dan satu orang yang punya peran penting dalam karier saya adalah Bu Mien Gondowijoyo itu. Bu Mien itu pelatih saya di Ragunan. Dia yang memilih saya ke Jakarta.
Lalu saya dipanggil ke Pelatnas Pelti, tapi pelatihnya Bu Mien. Saya tidak bakal lupa sama jasa-jasanya Bu Mien. Kita gak boleh melupakan jasa-jasa pelatih kita.
Bu Mien itu bagus dalam disiplin. Beliau selalu on time. Kalau latihan memang Bu Mien biasa-biasa saja. Karena kalau latihan itu tergantung atletnya. Kalau atletnya malas prestasinya biasa-biasa saja.