Kedalaman skuad yang mumpuni musim ini juga jadi kelebihan Manchester City selama satu dekade terakhir. Pelatih-pelatih yang menangani tim milik Sheikh Mansour itu pun dimanjakan dengan stok pemain kelas dunia.
Namun satu hal yang masih mengganjal dari Manchester City adalah gelar Liga Champions. Sudah 11 edisi beruntun diikuti oleh City namun tak ada satupun yang berbuah trofi Si Kuping Besar.
Satu-satunya momen City nyaris menjadi juara adalah di musim 2020/2021 namun kalah 0-1 dari Chelsea di babak final.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kesempatan City kembali terbuka di musim 2021/2022. Namun langkah mereka dihentikan oleh Real Madrid pada babak semifinal.
Biaya sekitar 1,27 miliar poundsterling atau setara dengan Rp23,6 triliun untuk belanja pemain seakan jadi antiklimaks bagi City di pentas Eropa. Dekade terbaik dalam sejarah klub pun belum menghasilkan satu Liga Champions sama sekali.
Salah satu penyebab City masih belum bisa menjuarai Liga Champions adalah pembagian fokus di tengah keikutsertaan berbagai kompetisi hingga akhir musim.
Itu terlihat dari perjalanan terbaik City di Liga Champions pada 2020/2021 lalu. Kala itu Guardiola membawa timnya menjuarai Liga Inggris plus Carabao Cup, plus jadi semi finalis Piala FA.
![]() |
Namun Liga Champions 2020/2021 tak berpihak pada mereka meski sudah sampai ke partai puncak. Hal serupa kembali terjadi di musim berikutnya.
Akhir nahas kembali terjadi di musim lalu meski City juara Liga Inggris dan finis di tahap akhir turnamen domestik lain. Lagi-lagi, City gagal juara Liga Champions.
Musim ini, City masih berkompetisi di tiga panggung: Liga Inggris, Piala FA, dan Liga Champions. Kesempatan treble jelas masih terbuka jika melirik posisi kedua di liga dan lolos perempat final Piala FA.
Mungkin saja Liga Champions musim ini jadi milik City, menimbang materi tim yang dalam dan merata di tangan mereka. Namun dengan rekam jejak yang ada, logis jika tetap ada yang meragukan mereka bisa menjadi raja di Eropa.