Kalau dibandingkan pemain-pemain lain, mungkin saya adalah orang yang telat latihan serius. Saya sudah mengenal basket itu sejak SD. Waktu itu enggak saya lanjutkan bermain karena merasa latihannya berat. Mungkin waktu itu karena saya berlatih bersama orang-orang yang lebih senior.
Kemudian saya baru berlatih basket lagi saat SMP karena dipicu melihat kakak pertama saya bermain basket . Saya melihat sepertinya kok enak ya bisa bermain basket. Akhirnya saya berlatih di klub bersama kakak saya.
Tinggi tubuh yang sudah mencapai lebih dari 190 cm pada saat SMP menjadi modal penting buat saya yang telat mengenal basket. Di klub itu saya paling tinggi, tapi paling enggak bisa main hahaha. Lay up enggak bisa, lari masih harus diajari, benar-benar seperti itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Latihan keras pun kembali saya rasakan, capek. Sempat kepingin berhenti, tetapi waktu itu pelatih saya sampai datang ke rumah untuk mencari saya agar ikut latihan.
Faktor terbesar yang membuat saya tetap berada di lapangan basket adalah dukungan orang tua. Kedua orang tua saya bukan atlet, tak punya hubungan dengan lapangan basket, karena mereka adalah profesor.
Bapak saya Prof. Dr. dr. Tjokorda Alit Kamar Adnyana, SpFK dan ibu saya Prof. Dr. dr. Luh Ketut Suryani, SpKJ.
Meski punya sederet gelar akademis, orang tua saya tidak memaksakan kehendak agar anaknya mengikuti jejak mereka. Justru mereka selalu memberi dukungan untuk anak-anaknya menekuni berbagai bidang yang disuka. Mereka pun memberi support penuh bagi saya bermain basket.
Sampai kemudian saya benar-benar bisa main basket, masuk level daerah sampai kemudian membela Bali dan terpantau tim nasional junior serta klub.
Ketika saya membela Bali di kejuaraan junior tingkat nasional, bos tim Aspac Irawan Haryono melihat bakat saya dan berniat merekrut saya. Tetapi ketika itu tahun 1994 saya masih kelas 2 SMA dan tanggung rasanya untuk meneruskan sekolah yang tinggal satu tahun lagi.
Saya pun memilih tetap di Bali, hingga setahun kemudian bergabung ke Aspac. Saya ke Jakarta karena saya yakin basket adalah jalan hidup saya. Satu hal yang benar-benar membuat langkah ringan adalah izin dan restu orang tua. Sebelum berangkat orang tua saya menitipkan pesan ke pak Irawan agar saya bisa mendapat pendidikan lanjutan tingkat universitas.
Sebenarnya ketika kelas 3 SMA itu saya sempat mencoba mengikuti kakak-kakak saya masuk ITB, namun garis hidup mengarahkan saya ke lapangan basket. Saya bergabung dengan Aspac sambil berkuliah di Jakarta.
Selain panggilan pak Irawan, sebenarnya ada satu panggilan lagi ketika saya masih SMA. Ketika itu mas Bambang Hermansyah menghubungi saya untuk ke Jakarta masuk Timnas Basket junior. Saya itu enggak tahu siapa mas Bambang yang waktu itu menelepon langsung ke rumah. Dia sampai bilang kalau dia itu pemain basket tim nasional hahaha.
Jujur saja saya itu hanya main basket saja dan tidak menonton basket. Apalagi waktu itu kan belum seperti sekarang ada media sosial dan macam-macam. Selain itu acara basket di televisi kan tidak banyak.
Bahkan ketika saya membela Bali di kejuaraan junior, saya sempat dikenalkan kepada Romy Chandra dan M Rifky yang merupakan bintang basket Indonesia pada waktu itu. Mungkin kalau anak Jakarta sudah tahu siapa mereka, tapi saya benar-benar enggak tahu jadi biasa saja pas diperkenalkan ke mereka hahaha.
Setelah masuk Aspac saya kemudian mulai merasakan latihan yang lebih berat lagi. Di samping itu saya juga harus mengikuti latihan, tetapi perlahan saya bisa mengikuti.
Sempat saya mendapat nilai jelek waktu kuliah. Teguran-teguran pun datang dari kampus.
"Ini mau pilih basket atau kuliah?"
"Anak profesor kok nilainya seperti ini?"
Itu jadi pertanyaan-pertanyaan telak, tetapi juga membuat saya bangkit. Mungkin banyak yang menganggap prestasi akademik dan prestasi olahraga enggak bisa jalan bersamaan, tetapi saya ingin membuktikan kalau saya bisa menjalankan dua-duanya. Basket jalan, kuliah juga lanjut.
Perjuangannya luar biasa waktu itu untuk tetap seimbang di lapangan dan bangku kuliah. Untung pihak klub memberi dukungan.
Sering kali, ketika masih kuliah, saya pagi di Jakarta dan kemudian setelah kelas selesai saya naik pesawat atau kereta sehingga sore hari saya baru gabung tim untuk berlatih atau bertanding di kota lain.
Pernah juga waktu itu ada seri liga basket di Cirebon. Saya main sore hari, malamnya saya naik kereta kelas ekonomi ke Jakarta. Tahun itu kelas ekonomi belum ada AC, jadi bisa kebayang panasnya seperti apa hahaha.
Setelah lulus S1 teknik mesin, saya kemudian lanjut S2 manajemen keuangan. Semua saya tuntaskan di masa saya masih menjadi pemain.
Sebenarnya sejak 2010 saya sudah berstatus ASN setelah diangkat di Kemenpora. Kendati demikian saya tetap mendapat kesempatan bermain dan kemudian saya sempat menjadi pelatih dan juara bersama Satria Muda.
Kemudian sejak 2018 saya mutasi ke Bali, karena ingin mengabdi untuk tanah kelahiran. Kini saya bertugas sebagai pejabat Eselon IV di Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga Provinsi Bali. Lantaran itu saya sekarang dituntut banyak tahu beragam olahraga, tidak cuma basket saja. Seperti beberapa waktu lalu saya juga sempat dipercaya diterjunkan Pemprov Bali menjadi panitia lokal atau LOC di ajang Liga 1.
Menjadi pegawai kantoran jadi hal yang berbeda dibanding menjalani karier sebagai pemain basket. Tetapi saya tetap bisa mengaplikasikan hal-hal yang saya pelajari di olahraga untuk melanjutkan pekerjaan seperti bagaimana kita bekerja sama sebagai tim, bagaimana kita berjuang, tidak patah semangat, dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik.
(nva/har)