Kegagalan Liga Super China dan Impian Xi Jinping yang Hilang

CNN Indonesia
Minggu, 09 Apr 2023 15:05 WIB
China memiliki mimpi menjadi negara sepak bola terkuat di dunia. Mimpi itu kini diuji dengan keruntuhan Liga Super China.
Guangzhou Evergrande jadi salah satu klub raksasa China sebelum Covid. (AFP/STR)

Covid-19 yang terjadi sejak 2019 jadi salah satu faktor yang menghambat angan-angan Xi Jinping agar China menjadi sepak bola adidaya.

Pandemi meremukkan ekonomi di negara tersebut dan pasar properti terhenti. Imbasnya dana dari perusahaan dan pengembang yang berafiliasi dengan negara mengering.

Aturan pandemi yang ketat membuat penonton dilarang dan dibatasi datang ke stadion, pemasukan klub pun berkurang, termasuk dari sponsor.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kondisi itu membuat klub berjuang mati-matian membayar gaji, banyak pemain dan pelatih asing yang dibawa guna meningkatkan standar sepak bola China berhenti. Beberapa pemain dan pelatih asing memilih keluar dari China ketimbang tidak bisa bertemu keluarga.

Masalah di CSL bukan saja karena pandemi Covid selama tiga tahun, tetapi juga keputusan keuangan yang buruk dan dugaan korupsi tingkat tinggi.

Banyak yang percaya, kebobrokan di Liga China terjadi sebelum Covid muncul. Konsultas olahraga William Bi mengatakan, pandemi virus memperburuk skenario keuangan CSL, sehingga mempercepat kejatuhan dan membuat liga hampir mustahil mendapatkan sponsor dan penyiar.

Grup Evergrande yang mengalami keruntuhan pada 2021 memicu krisis pasar properti terburuk di negara itu. Akibatnya klub Guangzhou Evergrande, tidak dapat membayar penuh gaji pemain dan pada tahun 2022. Juara Asia dua kali itu piun terdegradasi dari Liga Super China.

"Sepak bola China berubah, banyak tim mengalami krisis keuangan. Bahkan Guangzhou, salah satu tim terbaik di China, menghadapi situasi sulit. Itu rumit," kata pemain Guangzhou berdarah Peru, Roberto Siucho.

Banner Testimoni

Siucho adalah salah satu pemain yang masuk ke dalam proyek naturalisasi sepak bola China. Siucho dinaturalisasi pada 2019 karena memiliki darah China dari mendiang kakek.

Setelah gagal di kompetisi domestik, sepak bola China juga sia-sia dalam usaha naturalisasi pemain. Naturalisasi menjadi 'jalan ninja' bagi sebuah tim nasional untuk mendapatkan prestasi.

Pemain-pemain dengan keturunan China dibidik untuk masuk ke Dragons Team. Nico Yennaris yang menimba ilmu di Arsenal kini dikenal sebagai Li Ke. Ada juga mantan pemain Everton Tyias Browning (Jiang Guangtai).

Selain pemain keturunan, China juga melakukan naturalisasi murni terhadap lima pemain Brasil. Fernando (menjadi Fei Nanduo), Aloisio (Luo Guofu), Elkeson (Ai Kesen), Ricardo Goulart (Gao Late) dan Alan Carvalho (A Lan). Tidak satupun dari mereka memiliki darah China.

Sayangnya lagi-lagi upaya China membentuk timnas terkuat gagal. Pandemi membuat para pemain naturalisasi Brasil itu pergi, dan hanya dua yang kembali.

Bahkan Goulart yang hengkang pada 2021 melepaskan kewarganegaraan China setelah mengklaim klubnya Guangzhou tidak membayar gaji.

Tidak semua masalah disebabkan oleh Covid, beberapa di antaranya juga keputusan bisnis yang buruk. Dalam upaya untuk mengembangkan bakat lokal, Asosiasi Sepak Bola Tiongkok (CFA) menaikkan pajak untuk pemain luar negeri pada 2017.

Setiap klub yang menghabiskan lebih dari US$7 juta harus membayar jumlah yang sama kepada CFA. Klub merespons dengan memperketat dompet mereka secara drastis, yang pada gilirannya memukul jumlah penggemar dan minat sponsor.

Dalam laporan CNN, keinginan China menjadi tuan rumah Piala Dunia terlihat tidak masuk akal mengingat sejumlah dugaan korupsi di sepak bola China.

Sepak bola China patut bangkit secepat mungkin untuk bisa meraih mimpi Xi Jinping. Sejauh ini saja peringkat timnas China mengalami kemerosotan di ranking 81 FIFA. Sejak 2011, China memiliki peringkat terbaik di posisi ke-57.



(ryn/sry)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER