Jakarta, CNN Indonesia --
Setelah lebih dari satu dekade, mimpi Presiden Xi Jinping agar sepak bola China jadi salah satu kekuatan dunia masih jauh dari kenyataan.
Pada 2011, atau satu tahun sebelum menjadi presiden, Xi Jinping memiliki harapan mengubah China yang awalnya negara kecil sepak bola menjadi adidaya.
Xi Jinping menerapkan tiga tahap untuk timnas China, mulai dari lolos ke Piala Dunia, menjadi tuan rumah Piala Dunia, hingga memenangkan Piala Dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2016, Asosiasi Sepak Bola China menargetkan sepak bola mereka menjadi salah satu kekuatan dunia pada 2050 mendatang. Dikutip dari CNN, hanya sedikit pihak yang meragukan tekad Xi Jinping tersebut.
Salah satu cara China mencapai target tersebut adalah menggelontorkan banyak uang merekrut pemain-pemain top dunia ke klub-klub Liga Super China (CSL). Para pemain asing itu mendapatkan bayaran menggiurkan dari klub CSL.
Sebagian adalah pemain yang memiliki sisa karier setelah gemilang di Eropa, sisanya masih dalam usia produktif. Dana klub tersebut bersumber dari konglomerat dan pengembang yang berafilisasi dengan negara.
Mantan bintang Shakhtar Donetsk, Alex Teixeira direkrut dengan kontrak US$54 juta atau setara dengan Rp806 miliar bersama Jiangsu Suning pada 2016. Rekan satu negaranya Hulk mendapat kontrak US$60 juta bersama Shanghai SIPG.
Sementara itu bintang Chelsea Oscar dapat kontrak lebih tinggi, US$65 juta saat gabung Shanghai. Angka tersebut membuat Oscar jadi pemain asing dengan kontrak paling tinggi di CSL.
Kontrak-kontrak 'gila' itu membuat CSL menyaingi liga-liga top Eropa. Pada musim 2015/2016, sebanyak US$451 juta dihabiskan China untuk transfer pemain. Jumlah tersebut membuat CSL masuk ke dalam lima besar liga dengan pembelanjaan terbesar di dunia.
Akan tetapi menjanjikan bayaran tinggi untuk pemain asing tidak juga membuat sepak bola China sepenuhnya berhasil. Jangankan berbicara di dunia, menyaingi Iran, Jepang, Arab Saudi, hingga Korea Selatan di Asia juga masih sulit.
Sejak ikrar Xi Jinping pada 2011 hingga saat ini, prestasi terbaik timnas China masihlah runner up Piala Asia 2004. Negeri Tirai Bambu itu juga belum lagi lolos ke Piala Dunia setelah terakhir kali pada 1957.
Baca kelanjutan berita ini di halaman berikutnya>>>
Covid-19 yang terjadi sejak 2019 jadi salah satu faktor yang menghambat angan-angan Xi Jinping agar China menjadi sepak bola adidaya.
Pandemi meremukkan ekonomi di negara tersebut dan pasar properti terhenti. Imbasnya dana dari perusahaan dan pengembang yang berafiliasi dengan negara mengering.
Aturan pandemi yang ketat membuat penonton dilarang dan dibatasi datang ke stadion, pemasukan klub pun berkurang, termasuk dari sponsor.
Kondisi itu membuat klub berjuang mati-matian membayar gaji, banyak pemain dan pelatih asing yang dibawa guna meningkatkan standar sepak bola China berhenti. Beberapa pemain dan pelatih asing memilih keluar dari China ketimbang tidak bisa bertemu keluarga.
Masalah di CSL bukan saja karena pandemi Covid selama tiga tahun, tetapi juga keputusan keuangan yang buruk dan dugaan korupsi tingkat tinggi.
Banyak yang percaya, kebobrokan di Liga China terjadi sebelum Covid muncul. Konsultas olahraga William Bi mengatakan, pandemi virus memperburuk skenario keuangan CSL, sehingga mempercepat kejatuhan dan membuat liga hampir mustahil mendapatkan sponsor dan penyiar.
Grup Evergrande yang mengalami keruntuhan pada 2021 memicu krisis pasar properti terburuk di negara itu. Akibatnya klub Guangzhou Evergrande, tidak dapat membayar penuh gaji pemain dan pada tahun 2022. Juara Asia dua kali itu piun terdegradasi dari Liga Super China.
"Sepak bola China berubah, banyak tim mengalami krisis keuangan. Bahkan Guangzhou, salah satu tim terbaik di China, menghadapi situasi sulit. Itu rumit," kata pemain Guangzhou berdarah Peru, Roberto Siucho.
Siucho adalah salah satu pemain yang masuk ke dalam proyek naturalisasi sepak bola China. Siucho dinaturalisasi pada 2019 karena memiliki darah China dari mendiang kakek.
Setelah gagal di kompetisi domestik, sepak bola China juga sia-sia dalam usaha naturalisasi pemain. Naturalisasi menjadi 'jalan ninja' bagi sebuah tim nasional untuk mendapatkan prestasi.
Pemain-pemain dengan keturunan China dibidik untuk masuk ke Dragons Team. Nico Yennaris yang menimba ilmu di Arsenal kini dikenal sebagai Li Ke. Ada juga mantan pemain Everton Tyias Browning (Jiang Guangtai).
Selain pemain keturunan, China juga melakukan naturalisasi murni terhadap lima pemain Brasil. Fernando (menjadi Fei Nanduo), Aloisio (Luo Guofu), Elkeson (Ai Kesen), Ricardo Goulart (Gao Late) dan Alan Carvalho (A Lan). Tidak satupun dari mereka memiliki darah China.
Sayangnya lagi-lagi upaya China membentuk timnas terkuat gagal. Pandemi membuat para pemain naturalisasi Brasil itu pergi, dan hanya dua yang kembali.
Bahkan Goulart yang hengkang pada 2021 melepaskan kewarganegaraan China setelah mengklaim klubnya Guangzhou tidak membayar gaji.
Tidak semua masalah disebabkan oleh Covid, beberapa di antaranya juga keputusan bisnis yang buruk. Dalam upaya untuk mengembangkan bakat lokal, Asosiasi Sepak Bola Tiongkok (CFA) menaikkan pajak untuk pemain luar negeri pada 2017.
Setiap klub yang menghabiskan lebih dari US$7 juta harus membayar jumlah yang sama kepada CFA. Klub merespons dengan memperketat dompet mereka secara drastis, yang pada gilirannya memukul jumlah penggemar dan minat sponsor.
Dalam laporan CNN, keinginan China menjadi tuan rumah Piala Dunia terlihat tidak masuk akal mengingat sejumlah dugaan korupsi di sepak bola China.
Sepak bola China patut bangkit secepat mungkin untuk bisa meraih mimpi Xi Jinping. Sejauh ini saja peringkat timnas China mengalami kemerosotan di ranking 81 FIFA. Sejak 2011, China memiliki peringkat terbaik di posisi ke-57.
[Gambas:Video CNN]