Herrie Setyawan: Fandi Ahmad, Jose Mourinho, dan Tes Doping SEA Games
Membela Timnas Indonesia selama enam tahun tidak bisa saya lupakan sepanjang hidup. Khususnya saat saya mendapat kesempatan tiga kali tampil di SEA Games yaitu 1989, 1991, dan 1993.
Saya dipanggil timnas SEA Games 1989 usia saya masih 19 tahun. Saya menjadi pemain yang promosi dari Timnas Indonesia U-19. Jadi saya menjadi pemain paling muda di Timnas senior waktu itu.
Di SEA Games 1989 saya sempat jadi berita utama karena menjegal bintang timnas Singapura Fandi Ahmad di semifinal. Saya dapat kartu merah dan Indonesia kalah 0-1 dari Singapura di semifinal.
Awalnya Singapura dapat tendangan bebas. Kami berlima menjadi tembok pagar betis, dan para pemain Indonesia saat itu ngeyel tidak mau mundur dari posisi yang diminta wasit. Tiba-tiba wasit mengeluarkan kartu kuning dan saya enggak tahu kartu kuning itu untuk siapa karena kami berlima.
Setelah itu ada momen Fandi Ahmad menggiring bola, saya hantam dia dari belakang. Saya memang dapat instruksi untuk mematikan pergerakan Fandi Ahmad yang memang berbahaya.
Tapi Fandi Ahmad saat itu tidak cedera dan masih kuat melanjutkan permainan. Sebaliknya, justru saya yang diusir wasit karena dapat kartu kuning kedua. Saya sempat protes ke wasit karena saya tidak tahu sudah dapat kartu kuning waktu jadi pagar betis.
Kekalahan Indonesia di semifinal SEA Games 1989 itu akhirnya menjadi headline di surat kabar nasional. Karena kami gagal mempertahankan medali emas yang sebelumnya diraih di SEA Games 1987 di Jakarta.
Tapi setelah SEA Games justru saya kagum dengan Fandi Ahmad. Sebab ketika saya membela Timnas Indonesia di kualifikasi Piala Asia sekitar 1991, saya dan tim Singapura, termasuk Fandi Ahmad satu hotel.
Ada satu momen saya lihat Fandi Ahmad sedang salat Jumat di masjid yang sama. Itu kali pertama saya lihat Fandi Ahmad secara langsung di luar lapangan. Saya lihat sosoknya yang merupakan bintang, ternyata di luar lapangan dia sangat sederhana sekali.
Makanya karena saya sangat menyukai sosoknya, alhamdulillah sewaktu saya punya anak pertama saya beri nama anak saya Fandi Ahmad. Saya juga pernah bilang ke Fandi Ahmad soal nama anak saya ini waktu kami sama-sama membela Pelita Jaya.
Kemudian saya tampil lagi membela Indonesia di SEA Games 1991, ini adalah momen kami untuk membalas kegagalan kami di 1989. Di semifinal SEA Games 1991 kami ketemu Fandi Ahmad lagi.
Tapi ternyata Fandi Ahmad saat itu sudah takut dan trauma tidak mau lagi berhadapan dengan pemain Indonesia. Akhirnya Fandi tidak bermain lama. Dia cuma main beberapa menit lalu diganti.
Tanpa Fandi Ahmad, Indonesia pun berhasil menang adu penalti atas Singapura di semifinal dan lolos ke final. Di final kami berhasil menang adu penalti lawan Thailand dan menjadi juara SEA Games 1991.
Kunci keberhasilan kami juara SEA Games 1991 adalah loyalitas para pemain yang benar-benar mempertaruhkan segalanya demi juara dan demi lambang Garuda di dada.
Sebab dari persiapan menuju SEA Games 1991 sudah membuat saya kaget. Yang paling mencolok sekali adalah latihan fisik. Total kami persiapan matang dan maksimal itu tiga bulan. Satu bulan di Bandung, satu bulan di Malang, dan satu bulan Jakarta.
Tampaknya memang harus menderita dulu baru bisa kita rasakan nikmatnya bermain dengan fisik prima selama pertandingan di SEA Games. Kalau orang Jawa bilang 'kalau kami lari itu kayak enggak ada udel-nya'.
Pelatih Timnas Indonesia Anatoly Polosin memang fokus pada fisik pemain. Bahkan waktu kami uji coba dia selalu menghitung berapa sentuhan bola setiap pemain. Dia ingin kita selalu aktif dengan bola dan terlibat dalam permainan.
Biasanya sehari setelah uji coba dia mengumumkan laporan setiap pemain, berapa umpan dan kontrol masing-masing pemain dalam pertandingan sebelumnya. Kalau yang paling sedikit sentuhan bolanya tidak dihukum, cuma akan malu sendiri. Itulah yang memotivasi kami untuk selalu aktif dengan bola dan ikut terlibat dalam permainan.
Suasana tim waktu SEA Games 1991 juga sangat kondusif. Persatuan kita di luar lapangan sangat erat sekali. Meski dapat bayaran Rp350 ribu per bulan dan uang saku 50 dolar per hari tidak kami pikirkan. Karena kami tidak melihat ke sana (gaji). Bagi kami membela Timnas itu sudah menjadi kebanggaan besar. Itu kuncinya buat juara.
Nah, di sini juga awal sejarah saya kali pertama dapat panggilan Jose, yang melekat sampai sekarang. Pertama kali yang memanggil saya Jose itu adalah rekan saya di Timnas Indonesia Bambang Nurdiansyah alias Banur. Awalnya saya tidak mengerti. Tapi setelah tahu ternyata Jose itu awalnya George. Banur suka panggil saya George.
George kemudian bergeser menjadi Jose ternyata juga karena diambil dari nama musuhnya James Bond, yaitu Jaws yang berpostur tinggi besar dan bergigi besi seperti saya, cuma gigi saya asli tidak pakai besi. Jadi Jose itu bukan diambil dari nama Jose Mourinho karena Mourinho waktu itu juga masih kecil.
Kenangan menarik lainnya di SEA Games 1991 adalah ketika saya diminta tes doping oleh panitia. Jadi seusai pengalungan medali emas ada kejadian mengejutkan dan mendebarkan. Tiba-tiba panitia mencurigai saya pakai doping.
Alasannya karena saya terlihat paling kuat dan tidak pernah capek meski pertandingan lanjut ke babak tambahan dan adu penalti. Sementara jika dilihat pemain lain sudah terlihat kepayahan dan lelah. Sedangkan saya yang bermain di bek kanan justru terlihat masih kuat lari maju mundur, menyerang, dan bertahan.
Jadi usai pengalungan medali saya dipanggil asisten pelatih Timnas Indonesia Danurwindo bahwa panitia SEA games meminta saya tes urine. Cuma saya seorang saja yang diminta tes urine karena dicurigai pakai doping.
Ketua Umum PSSI Alm. Kardono dan pelatih pun sempat panik dan meragukan saya. Pelatih bertanya 'kamu tadi enggak minum apa-apa kan?'. Saya bilang enggak. Saya tidak minum apa-apa. Saya cuma minum air biasa saja, minum air putih.
Saya tidak menolak dan tidak marah untuk jalani tes urine di stadion. Hanya saja saya takut kalau Indonesia dikerjai panitia yang mungkin menginginkan Thailand juara. Saya takut hasil tes urine saya ditukar oleh orang lain.
Kemudian sampel urine saya dikirim ke Australia untuk dilakukan pengujian doping, hasilnya baru keluar satu bulan kemudian. Selama satu bulan saya menunggu dan harap-harap cemas. Akhirnya hasilnya dikirim ke PSSI dan alhamdulillah saya dinyatakan negatif doping dan Indonesia tetap dinobatkan sebagai juara SEA Games 1991 sampai sekarang.
Berikutnya cerita menarik lainnya yang tidak bisa saya lupakan selama membela Timnas Indonesia adalah ketika saya mencetak gol untuk Indonesia saat lawan Singapura di SEA Games 1993.
Itu gol satu-satunya saya selama membela Timnas Indonesia. Gol itu tercipta lewat sundulan setelah saya menanduk umpan Alexander Saununu dari sepak pojok. Gol itu terasa luar biasa karena tercipta ketika Indonesia melawan tuan rumah Singapura.