Momen yang tidak terlupakan dalam karier selanjutnya tentu waktu juara ISL 2014 bersama Persib sebagai asisten pelatih. Itu dimunculkan oleh Allah SWT untuk mengangkat nama saya di dunia kepelatihan.
Waktu itu menjelang pertandingan final ISL lawan Persipura itu kondisi tim sangat kondusif. Tidak tegang sama sekali. Pemain sangat profesional. Kita juga tidak tegang karena kami sudah melewati Arema di semifinal ISL 2014. Kemenangan itu membuat kami semakin optimistis untuk juara.
Sebelum pertandingan final, semua pemain, pelatih, dan ofisial salat Ashar berjamaah di ruang rapat di salah satu hotel di Palembang. Salat dipimpin oleh imam dari Masjid Raya Palembang yang kebetulan dia orang Kuningan jadi dia bobotoh juga. Suasana saat itu sangat religius sekali karena kita semuanya berdoa sebelum perang. Kemudian kami berangkat ke stadion, kami pasrah kepada Allah tapi tetap ikhtiar berjuang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun waktu pertandingan, karena banyak manajemen Persib yang bersemangat untuk duduk di bench jadi saya dan pelatih fisik Yaya Sunarya akhirnya mengalah duduk di tribune belakang bench. Yaudah, saya sama Yaya berdoa dan ngaji Yasin saja selama pertandingan. Kami memang sudah persiapan bawa Alquran dari hotel.
Pas sudah memastikan juara, wah rasanya itu luar biasa senangnya. Puasa gelar Persib selama 19 tahun berakhir. Kami nangis bahagia. Sampai di hotel saya menjalankan nazar saya yaitu menyeburkan diri ke kolam disaksikan wartawan. Itu pengalaman luar biasa dalam karier saya sebagai pelatih.
Perjalanan karier saya dari pemain hingga pelatih sangat panjang. Saya lahir di Makassar, 8 Maret 1969. Cuma numpang lahir di Makassar karena ayah saya, Sardi Wiratma, yang merupakan seorang polisi sedang bertugas di sana. Ayah saya aslinya dari Cirebon. Ibu saya Siti Maryam berasal dari Makassar.
Saat usia lima tahun saya kembali ke Cirebon bersama orang tua. Saya besar di Cirebon. Kemudian sebenarnya saya masuk sekolah sepak bola itu sudah terlambat karena baru masuk di usia 14 tahun. Posisi saya dari kecil sudah bek tengah atau bek kanan, karena postur tubuh saya tinggi.
Terus setelah itu pada usia 15 tahun saya dapat kesempatan ikut Haornas mewakili Cirebon. Dari sana saya terpilih untuk memperkuat tim Haornas Jawa Barat untuk tingkat nasional. Di Haornas 1985 kami juara bersama Jawa Barat.
Setelah itu 1986 saya tetap melanjutkan pendidikan formal sembari berlatih di sekolah sepak bola. Saya ini juga laris tawaran main tarkam di jalur Pantura bareng pemain-pemain Persib. Mainnya sepanjang Pantura dari Cirebon, Tegal, Brebes, sampai Banyumas. Bayarannya besar satu pertandingan bisa dibayar Rp10 ribu. Dulu waktu sekolah ayah saya kasih jajan Rp500, ini main bola dibayar Rp10ribu per hari.
Nah pas main tarkam itu, salah satu pelatih dari Bandung, Risnandar, dia suka melihat saya main. Dia mengajak saya gabung ke Bandung Raya. Saya terima tawarannya karena dijanjikan melanjutkan sekolah di Bandung. Mulai dari situ saya main di Galatama dan mendapat panggilan memperkuat Timnas Indonesia U-19. Saya menggebrak karena menjadi satu-satunya pemain dari luar Diklat Ragunan yang dipanggil Timnas Indonesia U-19.
Setelah itu pada 1988 saya dapat tawaran dari Pelita Jaya dan Arseto Solo. Karena target saya ke timnas senior, makanya saya pilih Pelita Jaya. Sebab Pelita Jaya markasnya di Jakarta yang kemungkinan untuk dipantau timnas lebih besar.
Saya di Pelita Jaya cukup lama hampir delapan tahun. Kemudian karena cedera saya keluar dari Pelita. Setelah itu saya menghubungi Robby Darwis dan Djadjang Nurdjaman untuk menanyakan kesempatan bermain di Persib. Padahal saat itu saya sedang ikut latihan bareng Persita bersama Benny Dolo, tapi saya kurang sreg.
![]() |
Akhirnya Persib menerima saya untuk bergabung pada 1996. Di situ, saya juga membuat gebrakan sebagai pemain pertama dari luar kompetisi internal Persib yang bergabung tim Maung Bandung.
Setelah dari Persib saya pindah-pindah klub. Saya ke PKT Bontang di 2003. Kemudian 2004 saya bawa Persijap promosi dari Divisi Satu ke Divisi Utama. 2005 saya ke Mojokerto Putra, kemudian 2006 sebentar di PSB Bogor cuma ikut latihan. Lalu 2006 saya bawa Persma Manado promosi dari Divisi Satu ke Divisi Utama. Terakhir 2008 saya main di PSSA Asahan.
Kemudian saya pensiun di usia 38 tahun karena memang sudah merasa bosan latihan dan juga saya cedera ACL. Saya puas karena sudah 20 tahun lebih bermain, kemudian sudah pernah juara bersama Pelita Jaya di kompetisi Indonesia dan ASEAN. Saya juga sudah pernah membawa klub promosi.
Cuma kalau karier sebagai pemain Timnas Indonesia saya merasa belum puas karena keburu cedera. Di timnas, saya belum pernah merasakan main di putaran final Piala Asia, meskipun sudah juara SEA Games 1991.