Jakarta, CNN Indonesia --
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Peribahasa itu kiranya tepat untuk menggambarkan keluarga Bahari yang semua puteranya jadi petinju.
Ayah saya almarhum Daniel Bahari. Beliau adalah sosok legenda tinju yang menginspirasi banyak orang. Pernah aktif sebagai pelatih, manajer, dan promotor tinju profesional. Tak ayal darah tinju mengalir ke anak-anaknya, termasuk saya Pino Bahari.
Bisa dibilang dia sudah mempersiapkan saya jadi petinju sejak dalam kandungan lewat doa-doa dan harapan yang dipanjatkan setiap hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ibu saya cerita, ternyata ayah sudah mulai melatih kami sejak bayi. Caranya adalah dengan menjatuhkan apel ke perut saya pelan-pelan.
Menurut ayah metode itu diberikan agar otot perut saya mulai bereaksi bertahan. Mungkin maksudnya agar terbiasa dengan kontak fisik di area badan. Saya enggak tahu teori ini didapat dari mana.
Setelah saya bisa berjalan, ayah mulai melatih fisik tanpa saya sadari. Misalnya diajak wisata ke pantai, ternyata di sana bukan tidur-tiduran. Saya disuruh lari dan latihan fisik juga.
Jujur ada kalanya saya merasa terpaksa, tapi enggak berani bantah karena masih kecil. Hal yang sama juga ternyata diajarkan ke adik-adik saya, Nemo Bahari, Champ Bahari, Daudy Bahari, dan Tiovillo Bahari.
Kala itu didikan ayah sangat keras. Kalau bikin kesalahan, siap-siap sendal melayang atau rotan menyasar ke pantat.
Sedari kecil saya dan adik-adik sudah dipersiapkan jadi petinju. Belum juga sekolah, kami sudah mulai dicekoki teknik dasar tinju. Mulai cara memukul, menangkis, dan menghindar di Sasana Satria Sakti milik ayah.
 Legenda tinju Indonesia Pino Bahari (tengah) peraih medali emas Asian Games China 1990. (Arsip Pribadi) |
Sekitar usia 10 tahun, kami sudah sparing lawan anak-anak yang posturnya jauh lebih besar. Rata-rata mereka dari luar daerah yang ingin belajar tinju di sasana kami. Ada jagoan kampung sampai tukang berkelahi.
Calon anak didik dari luar daerah itu dites dulu lawan kami. Yang pasti posturnya lebih besar dan lebih dewasa dari kami.
Beratnya lagi kami harus bertahan di ronde pertama tanpa boleh melepaskan satu pukulan pun untuk membalas. Saya dipaksa bertahan terhadap serangan untuk melatih cara menghindar dan menangkis sambil mengamati celah kosong dari lawan.
Tujuannya untuk menggembleng mental dan terbiasa menghadapi pukulan lawan di awal. Tapi kami juga diminta mempelajari gerakan lawan. Jadi saya bisa melihat bagian mana yang terbuka dan bisa diserang nanti.
Di ronde kedua saya baru boleh menyerang. Pola ini terus diajarkan hampir setiap hari sampai saya terbiasa menghadapi lawan-lawan lebih besar.
Ketika duduk di bangku SMP, badan saya jadi bongsor. Kelas 3 SMP berat saya mencapai 88 kilogram. Lawan latih tanding di sasana yang saya hadapi mulai dari juara tinju profesional level nasional sampai Asia Pasifik, minimal 15 ronde. Ini dilakukan setiap hari.
Metode itu mungkin yang membentuk saya jadi petinju tangguh sebelum dewasa. Di situlah saya menemukan jati diri sebagai petinju.
 Pino Bahari masih aktif jadi pelatih di Sasana Satria Sakti, Bali. (Arsip Pribadi) |
Kali pertama turun di Kejurnas tinju junior kelas 3 SMP atau sekitar usia 15 tahun. Masalahnya kelas terberat yang dipertandingkan kelas 75kg. Jadi saya harus menurunkan berat badan 13kg agar bisa naik ring lebih cepat.
Karena sudah terbiasa sparing dengan petinju level Asia Pasifik, saya berhasil menjadi juara di Kejurnas Junior 88. Prestasi itu membuat saya bisa terjun ke Kejuaraan Nasional level senior.
Setahun kemudian saya masuk Kontingen Bali untuk PON 1989. Medali emas berhasil saya rebut hingga masuk timnas tinju di SEA Games 1989. Sayangnya saya hanya sukses meraih medali perunggu kelas 81kg.
Setahun kemudian, saya masuk Kontingen Indonesia di Asian Games Beijing 1990. Inilah momen tak terlupakan dalam karier tinju saya. Soalnya saya berhasil merebut medali emas di usia muda, belum genap 18 tahun.
Namun kemenangan di Asian Games 1990 bukan perkara mudah. Saya harus menahan rasa sakit tak terkira di babak semifinal sebelum berhasil memenangi laga final.
Di babak awal saya menang bye sebelum melawan petinju Taiwan di babak kedua. Di situ langkah saya masih mulus dan menang angka.
Jalan terjal terjadi di semifinal. Saya harus bertemu petinju tuan rumah, Liu Xinjun, yang saat itu difavoritkan meraih emas.
 Pino Bahari nyaris ambruk di semifinal Asian Games 1990. (ANTARA FOTO/Seno) |
Melawan Xinjun benar-benar jadi momen tak terlupakan dalam hidup saya. Pasalnya saya nyaris kehilangan kesadaran setelah terkena pukulan di pipi. Mungkin kalau arah pukulannya turun sedikit ke dagu, saya sudah ambruk.
Pukulan Xinjun yang mendarat di pipi terasa seperti setrum. Kaki saya mati rasa dan tangan saya kebas beberapa detik. Ibaratnya tinggal 'toyor' saja sudah pasti jatuh.
Tapi Tuhan sangat baik. Saya bisa sadar cepat dan bereaksi cepat dengan menggertak dia dengan pukulan. Dia mundur dan saya juga atur langkah dan napas ke belakang. Mungkin dia tidak sadar efek pukulan itu ke saya sebenarnya sangat dahsyat.
Puji Tuhan saya masih bisa berdiri dan menyelesaikan pertarungan dengan baik. Tuan rumah juga sangat fair hingga saya bisa menang angka. Sebab tak dimungkiri seringkali juri berpihak kepada tuan rumah. Kali ini mereka bertindak adil.
Perjuangan saya belum berakhir. Ternyata saya mengalami cedera parah setelah menang lawan Xinjun. Jari telunjuk kanan dan kiri sakit sekali sampai-sampai tidak bisa menggenggam sendok garpu. Bahkan saya harus minta tolong asisten pelatih untuk memotongkan daging saat makan.
Saya hanya punya waktu sehari istirahat untuk kembali bertanding di final. Tangan saya masih sakit sekali. Pasang sarung tinju saja sudah setengah mati.
Saya berdoa: "Tuhan bagaimana ini? Saya sudah lolos ke final tapi sakit sekali. Tolong saya!" kata saya dalam hati.
Baca lanjutan kisah Pino Bahari di halaman berikutnya>>>
Karena sudah sampai di final, cedera saya tahan dan cuma berniat duel habis-habisan. Lawan yang saya hadapi petinju asal Mongolia Bandiin Altangerel.
Saya enggak takut lawan dia, tapi harus mengalahkan diri sendiri. Bayangkan saja, saya berhasil memukul tapi juga harus menahan sakit di tangan. Sakitnya makin menjadi kalau pukulan masuk ke kepala.
Karena lawan punya jangkauan lebih jauh, saya main jarak dekat. Setelah masuk jarak tembak, saya keluarkan semua pukulan. Hook, uppercut, jap, saya lepas semua. Apa pun hasilnya saya harus habis-habisan menahan sakit.
Tuhan sangat baik. Saya mampu melewati penderitaan luar biasa selama tiga ronde itu. Bahkan saya dinyatakan menang angka di akhir duel.
Kemenangan itu seperti mukjizat karena saya bertarung sambil menahan sakit. Itu pasti campur tangan Tuhan. Selain memang berkat didikan keras ayah saya sejak kecil.
Psikologis dan mental saya sudah dibentuk sebagai petarung sejak kecil. Jadi mau ketemu lawan seperti apa nggak ada masalah. Tinggal cari kelemahan lawan dan pakai strategi apa.
[Gambas:Photo CNN]
Secara pribadi, saya bangga dengan perjuangan 'gila' di final. Selain itu, saya juga senang bisa membuktikan bahwa petinju Indonesia sebenarnya mampu jadi juara.
Sedihnya sampai sekarang belum ada lagi petinju Indonesia yang mampu meraih emas di ajang Asian Games.
Karier saya makin menanjak usai Asian Games 1990. Sayangnya cuma mampu raih medali perak di tiga ajang SEA Games (1991, 1993, dan 1995).
Banyak faktor nonteknis yang bikin saya sulit dapat emas di SEA Games. Misalnya saya persiapan sekian bulan untuk turun di 75kg, tapi beberapa minggu sebelum event didaftarkan tampil di kelas 81kg. Performa jadi tak maksimal.
Puncak kekecewaan terjadi jelang Olimpiade 1996. Saya memutuskan tak mau lagi masuk timnas tinju karena mengalami cedera konyol yang disebabkan latihan fisik berlebihan atau salah metode. Pelatih fisik kami saat itu bukan dari pelatih tinju.
 Legenda tinju Indonesia Pino Bahari peraih medali emas Asian Games China 1990. (Arsip Pribadi) |
Memang saya tak bisa ikut karena cedera, tapi seharusnya saya yang ada di sana. Saya merasa cedera yang saya alami karena metode latihan yang salah. Padahal saya sudah bertarung mati-matian di Kejuaraan Asia sebagai finalis untuk lolos di Pra Olimpiade hingga mendapat tiket ke Olimpiade Atlanta 1996. Tapi saya terpaksa gagal berangkat karena cedera parah.
Ayah sepenuhnya menyerahkan keputusan mundur dari timnas ke tangan saya. Tapi dia menyarankan untuk turun di PON 1996 sebagai pembuktian terakhir.
"Setelah PON, terserah kamu mau pensiun dari timnas. Tapi, kami harus buktikan dulu masih bisa berprestasi di PON," kata ayah saya kala itu.
Saya setuju dan akhirnya berhasil meraih emas PON 1996 untuk Kontingen Bali. Setelah itu saya memutuskan pensiun.
Setahun berikutnya, saya punya keinginan untuk kembali ke arena tinju. Namun dokter tidak mengizinkan karena cedera tulang belakang saya bisa bertambah parah dan berpotensi mengakibatkan kelumpuhan.
Saya tak berani bantah dan harus rela gantung sarung tinju di usia 24 tahun. Kemudian saya pilih ikuti jejak ayah jadi promotor gelar tinju profesional yang sempat populer di Indosiar.
Banyak petinju-petinju besar lahir di sana, termasuk Chris John, yang akhirnya berhasil menjadi juara dunia kelas bulu WBA. Kami juga sempat mengorbitkan Daud 'Cino' Yordan di awal-awal kariernya pada tahun 2005.
 Pino Bahari pernah terlibat membantu persiapan Daud Jordan bertanding di beberapa laga internasional. (Arsip Pribadi) |
Waktu terus berlalu dan event semacam gelar tinju profesional di Indonesia mati suri. Saya sempat menganggur parah di masa pandemi.
Titik terendah saya terjadi pada tahun lalu. Kebutuhan terus berlanjut dan pemasukan semakin minim. Tabungan saya habis dan terpaksa banting stir jadi driver online di akhir tahun 2022.
Pertengahan tahun 2023 saya vakum jadi driver online dan menerima tawaran kerja dari salah seorang teman yang bergerak di bidang jasa pengamanan. Saya bersyukur bisa dapat kesempatan di dunia baru daripada jadi pengacara, pengangguran banyak acara.
Enggan Bina Anak Jadi Petinju
Saya dikaruniai dua anak. Satu perempuan dan satu laki-laki. Hati kecil saya ingin mewarisi tinju ke anak saya yang laki-laki karena semakin hari bakat dan tekniknya semakin meningkat.
Namun istri saya kurang setuju. Dia mengingatkan saya bahwa tak ada jaminan masa depan di dunia tinju. Itu berkaca dari pengalaman saya sendiri yang tak punya jaminan masa depan dari pemerintah.
Saya pun ikut nasihat istri. Tidak berani menjerumuskan anak saya fokus jadi atlet tinju. Biarlah dia menekuni bidang lain dan tidak melewati jalan yang saya alami.
Jujur, kadang saya merasa sedih. Kok pernah juara Asian Games tapi tak ada reward dari pemerintah? Beberapa atlet lain yang bahkan belum pernah sumbang emas di Asian Games, minimal dapat kerja sebagai PNS. Kenapa saya enggak ada yang tawarin, ya?
 Pino Bahari enggan bina anak sendiri jadi atlet tinju. (Arsip Pribadi) |
Mungkin berkat setiap orang berbeda. Tapi seharusnya bisa dirancang sedemikian rupa agar mantan-mantan atlet yang kurang beruntung bisa hidup layak dan berani membimbing anaknya jadi atlet penerus.
Menurut saya penghargaan pemerintah kepada atlet-atlet berprestasi masih kurang. Itu saya rasakan sendiri dalam hidup dan membuat saya tak berani mengarahkan anak jadi atlet, terutama cabang olahraga tinju yang minim perhatian.
Apalagi usia emas atlet itu terbatas. Harus dibentuk sejak usia dini hingga masa emasnya sampai di usia 30-an. Kalau tidak didukung ekonomi yang bagus, sulit untuk membentuk atlet berprestasi.
Itu makanya tahun 2014 saya sempat tertarik menjadi caleg salah satu partai untuk mengincar satu kursi di Komisi X DPR RI di bidang keolahragaan, pendidikan, dan sejarah.
Cita-cita saya masuk ke Komisi X agar bisa terlibat untuk mengajukan kebijakan pemerintah untuk kesejahteraan mantan atlet yang berprestasi internasional. Mereka harus punya jaminan masa depan agar tak kesulitan ekonomi di masa tua. Tapi belum rezeki dan kurang minat untuk coba lagi.
Semoga mereka yang berada di Komisi X saat ini mampu memperjuangkan masa depan mantan atlet Indonesia. Saya mungkin masih beruntung, tapi banyak mantan atlet di luar sana yang hidupnya sulit meski pernah mengharumkan nama bangsa di ajang internasional.
[Gambas:Video CNN]