TESTIMONI

Pino Bahari: Legenda Emas Asian Games yang Belum Terulang

Pino Bahari | CNN Indonesia
Rabu, 28 Jun 2023 19:00 WIB
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Peribahasa itu kiranya tepat untuk menggambarkan keluarga Bahari yang semua puteranya jadi petinju.
Pino Bahari sempat jadi driver online di Bali. (Arsip Pribadi)

Karena sudah sampai di final, cedera saya tahan dan cuma berniat duel habis-habisan. Lawan yang saya hadapi petinju asal Mongolia Bandiin Altangerel.

Saya enggak takut lawan dia, tapi harus mengalahkan diri sendiri. Bayangkan saja, saya berhasil memukul tapi juga harus menahan sakit di tangan. Sakitnya makin menjadi kalau pukulan masuk ke kepala.

Karena lawan punya jangkauan lebih jauh, saya main jarak dekat. Setelah masuk jarak tembak, saya keluarkan semua pukulan. Hook, uppercut, jap, saya lepas semua. Apa pun hasilnya saya harus habis-habisan menahan sakit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tuhan sangat baik. Saya mampu melewati penderitaan luar biasa selama tiga ronde itu. Bahkan saya dinyatakan menang angka di akhir duel.

Kemenangan itu seperti mukjizat karena saya bertarung sambil menahan sakit. Itu pasti campur tangan Tuhan. Selain memang berkat didikan keras ayah saya sejak kecil.

Psikologis dan mental saya sudah dibentuk sebagai petarung sejak kecil. Jadi mau ketemu lawan seperti apa nggak ada masalah. Tinggal cari kelemahan lawan dan pakai strategi apa.

Secara pribadi, saya bangga dengan perjuangan 'gila' di final. Selain itu, saya juga senang bisa membuktikan bahwa petinju Indonesia sebenarnya mampu jadi juara.

Sedihnya sampai sekarang belum ada lagi petinju Indonesia yang mampu meraih emas di ajang Asian Games.

Karier saya makin menanjak usai Asian Games 1990. Sayangnya cuma mampu raih medali perak di tiga ajang SEA Games (1991, 1993, dan 1995).

Banyak faktor nonteknis yang bikin saya sulit dapat emas di SEA Games. Misalnya saya persiapan sekian bulan untuk turun di 75kg, tapi beberapa minggu sebelum event didaftarkan tampil di kelas 81kg. Performa jadi tak maksimal.

Puncak kekecewaan terjadi jelang Olimpiade 1996. Saya memutuskan tak mau lagi masuk timnas tinju karena mengalami cedera konyol yang disebabkan latihan fisik berlebihan atau salah metode. Pelatih fisik kami saat itu bukan dari pelatih tinju.

Legenda tinju Indonesia Pino Bahari peraih medali emas Asian Games China 1990. (Dok.Pribadi)Legenda tinju Indonesia Pino Bahari peraih medali emas Asian Games China 1990. (Arsip Pribadi)

Memang saya tak bisa ikut karena cedera, tapi seharusnya saya yang ada di sana. Saya merasa cedera yang saya alami karena metode latihan yang salah. Padahal saya sudah bertarung mati-matian di Kejuaraan Asia sebagai finalis untuk lolos di Pra Olimpiade hingga mendapat tiket ke Olimpiade Atlanta 1996. Tapi saya terpaksa gagal berangkat karena cedera parah.

Ayah sepenuhnya menyerahkan keputusan mundur dari timnas ke tangan saya. Tapi dia menyarankan untuk turun di PON 1996 sebagai pembuktian terakhir.

"Setelah PON, terserah kamu mau pensiun dari timnas. Tapi, kami harus buktikan dulu masih bisa berprestasi di PON," kata ayah saya kala itu.

Saya setuju dan akhirnya berhasil meraih emas PON 1996 untuk Kontingen Bali. Setelah itu saya memutuskan pensiun.

Setahun berikutnya, saya punya keinginan untuk kembali ke arena tinju. Namun dokter tidak mengizinkan karena cedera tulang belakang saya bisa bertambah parah dan berpotensi mengakibatkan kelumpuhan.

Saya tak berani bantah dan harus rela gantung sarung tinju di usia 24 tahun. Kemudian saya pilih ikuti jejak ayah jadi promotor gelar tinju profesional yang sempat populer di Indosiar.

Banyak petinju-petinju besar lahir di sana, termasuk Chris John, yang akhirnya berhasil menjadi juara dunia kelas bulu WBA. Kami juga sempat mengorbitkan Daud 'Cino' Yordan di awal-awal kariernya pada tahun 2005.

Legenda tinju Indonesia Pino Bahari peraih medali emas Asian Games China 1990. (Dok.Pribadi)Pino Bahari pernah terlibat membantu persiapan Daud Jordan bertanding di beberapa laga internasional. (Arsip Pribadi)

Waktu terus berlalu dan event semacam gelar tinju profesional di Indonesia mati suri. Saya sempat menganggur parah di masa pandemi.

Titik terendah saya terjadi pada tahun lalu. Kebutuhan terus berlanjut dan pemasukan semakin minim. Tabungan saya habis dan terpaksa banting stir jadi driver online di akhir tahun 2022.

Pertengahan tahun 2023 saya vakum jadi driver online dan menerima tawaran kerja dari salah seorang teman yang bergerak di bidang jasa pengamanan. Saya bersyukur bisa dapat kesempatan di dunia baru daripada jadi pengacara, pengangguran banyak acara.

Enggan Bina Anak Jadi Petinju

Saya dikaruniai dua anak. Satu perempuan dan satu laki-laki. Hati kecil saya ingin mewarisi tinju ke anak saya yang laki-laki karena semakin hari bakat dan tekniknya semakin meningkat.

Namun istri saya kurang setuju. Dia mengingatkan saya bahwa tak ada jaminan masa depan di dunia tinju. Itu berkaca dari pengalaman saya sendiri yang tak punya jaminan masa depan dari pemerintah.

Saya pun ikut nasihat istri. Tidak berani menjerumuskan anak saya fokus jadi atlet tinju. Biarlah dia menekuni bidang lain dan tidak melewati jalan yang saya alami.

Jujur, kadang saya merasa sedih. Kok pernah juara Asian Games tapi tak ada reward dari pemerintah? Beberapa atlet lain yang bahkan belum pernah sumbang emas di Asian Games, minimal dapat kerja sebagai PNS. Kenapa saya enggak ada yang tawarin, ya?

Legenda tinju Indonesia Pino Bahari peraih medali emas Asian Games China 1990. (Dok.Pribadi)Pino Bahari enggan bina anak sendiri jadi atlet tinju. (Arsip Pribadi)

Mungkin berkat setiap orang berbeda. Tapi seharusnya bisa dirancang sedemikian rupa agar mantan-mantan atlet yang kurang beruntung bisa hidup layak dan berani membimbing anaknya jadi atlet penerus.

Menurut saya penghargaan pemerintah kepada atlet-atlet berprestasi masih kurang. Itu saya rasakan sendiri dalam hidup dan membuat saya tak berani mengarahkan anak jadi atlet, terutama cabang olahraga tinju yang minim perhatian.

Apalagi usia emas atlet itu terbatas. Harus dibentuk sejak usia dini hingga masa emasnya sampai di usia 30-an. Kalau tidak didukung ekonomi yang bagus, sulit untuk membentuk atlet berprestasi.

Itu makanya tahun 2014 saya sempat tertarik menjadi caleg salah satu partai untuk mengincar satu kursi di Komisi X DPR RI di bidang keolahragaan, pendidikan, dan sejarah.

Cita-cita saya masuk ke Komisi X agar bisa terlibat untuk mengajukan kebijakan pemerintah untuk kesejahteraan mantan atlet yang berprestasi internasional. Mereka harus punya jaminan masa depan agar tak kesulitan ekonomi di masa tua. Tapi belum rezeki dan kurang minat untuk coba lagi.

Semoga mereka yang berada di Komisi X saat ini mampu memperjuangkan masa depan mantan atlet Indonesia. Saya mungkin masih beruntung, tapi banyak mantan atlet di luar sana yang hidupnya sulit meski pernah mengharumkan nama bangsa di ajang internasional.

(jun/har)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER