Jakarta, CNN Indonesia --
Saya Gendut Doni Christiawan, mantan pesepakbola yang pernah berkesempatan membela Timnas Indonesia dan sejumlah klub profesional.
Nama depan saya yang tak biasa 'Gendut' sering kali mengundang pertanyaan. "Nama asli atau sekadar julukan?", "Kok badan gendut bisa jadi pemain bola?", Begitu kira-kira pertanyaan banyak orang.
Ada cerita unik di balik nama tersebut. Sebenarnya saya terlahir dengan nama Doni Christiawan. Tapi saat kecil saya sakit-sakitan karena masalah di paru-paru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kakek saya minta tambahkan nama 'Gendut' di depan nama lahir dan diamini ayah dan ibu. Kepercayaan orang Jawa dulu ya begitu. Orang tua saya nuruti saja saran dari kakek.
Saya ingat, setelah ganti nama saya sering dibawa ke pantai untuk dimandikan air laut. Ya orang tua zaman dulu masih ada tradisi begitu lah ya.
 Gendut Doni Christiawan sakit-sakitan ketika masih kanak-kanak. (AFP/PORNCHAI KITTIWONGSAKUL) |
Artinya mungkin sehat dan bugar. Tapi katanya sih beneran saya enggak sakit-sakitan lagi setelah ganti nama. Alhamdulillah itu jadi nama keberuntungan saya.
Saya berterima kasih ke almarhum kakek yang memberikan nama itu. Saya percaya nama adalah sebuah doa dan harapan.
Kalau dulu itu hanya sebuah nama, karena postur saya tidak pernah gendut mulai anak-anak sampai jadi pesepakbola profesional. Nama itu juga membuat saya gampang dikenal banyak orang.
Kalau sekarang orang lihat di jalan mungkin sudah beda, ya. Perut saya sudah gendut beneran. Hehehe...
Saya terlahir di keluarga sepak bola. Ayah saya adalah mantan pemain bola dan juga atlet lari. Setelah pensiun ayah banting setir jadi pelatih di SSB Manunggal, klub milik perusahaan tekstil di Salatiga, PT Damatex Dayatiga Manunggal.
Mau tak mau, saya dan dua kakak saya, Nugroho Adiyanto dan Deftendi, ikut SSB Manunggal. Kami bertiga dilatih langsung ayah baik di rumah maupun di SSB.
Kecintaan terhadap sepak bola terus berlanjut. Bahkan kami punya cita-cita yang sama untuk masuk Diklat Salatiga sebagai pembuka jalan jadi pesepakbola profesional.
Berdarah-darah Masuk Diklat Salatiga
Dua kakak saya lebih dulu lulus seleksi Diklat Salatiga yang bisa dibilang sebagai salah satu diklat terbaik di Indonesia. Banyak bintang lahir di sini.
Kakakku, Nugroho, sekali seleksi langsung lolos. Dia satu angkatan dengan Kurniawan Dwi Yulianto, Kurnia Sandi, dan Supriyono. Deftendi juga lolos seleksi dan bergabung bersama Tugiyo yang akhirnya jadi pemain legenda PSIS Semarang.
Berbeda dengan jalan cerita dua kakak saya yang langsung lolos, perjuangan saya bisa dibilang harus berdarah-darah dulu. Tiga kali saya gagal lolos seleksi. Pertama karena patah tangan, kedua 'dikalahin' pemain titipan, ketiga karena harus membela klub junior Salatiga, PSISA di sebuah turnamen.
Saya sempat down. Apa iya saya benar-benar tidak layak masuk Diklat Salatiga seperti dua kakak saya? Sampai kakak saya Deftendi bilang: "Kalau kamu enggak lulus lagi di seleksi keempat, saya yang mundur. Wong kamu bagus, kok."
 Gendut Doni melalui perjuangan yang tidak mudah untuk menjadi pemain profesional. (Arsip Gendut Doni Christiawan) |
Mulai dari situ saya semangat lagi dan mencoba jalani tes keempat. Alhamdulillah kali ini lolos. Saya bangga sekali karena termasuk tujuh orang terpilih masuk Diklat Salatiga dari 300 pemain muda yang ikut seleksi.
Seleksi Diklat Salatiga memang dikenal ketat. Tesnya seperti standar masuk mau angkatan. Mulai di tes fisik dulu selama satu minggu: lari, push up, sit up, semuanyalah. Baru terakhir teknik. Bersyukur banget bisa lolos.
Tiga tahun di Diklat Salatiga membuat skill dan mental bermain saya bertambah. Saya juga bersyukur bisa bertemu dengan pelatih John Osok yang jasanya tak akan pernah saya lupakan. Motivasi dia, semangat, dan kebaikannya bikin kami percaya diri menatap masa depan.
Gemblengan keras di Diklat Salatiga membentuk saya jadi pemain yang lebih lengkap. Skill bertambah, mental meningkat, dan percaya diri melawan tim manapun.
Saya dan beberapa pemain Diklat Salatiga mendapat kesempatan membela Timnas Pelajar Asia dan Pra-Olimpiade.
Tahun 1998, saya sempat dikontrak sebagai pemain pinjaman PSIS Semarang yang saat itu berlaga di Liga Champions Asia. Namun kebersamaan saya dengan klub idola saya saat kecil hanya sebentar.
Pada 1999 saya menerima tawaran Persijatim yang saat itu banyak diperkuat pemain muda dari diklat-diklat se-Indonesia. Ini merupakan klub profesional pertama saya untuk tampil di kompetisi kasta tertinggi. Meski masih muda, saya sudah lumayan banyak bikin gol di Persijatim dalam semusim.
Baca di halaman selanjutnya>>>
Bermain di kompetisi tertinggi membuat nama saya mulai dikenal para pelatih. Saya juga masuk skuad Piala Tiger 2000 yang saat ini berganti nama jadi Piala AFF.
Piala Tiger 2000 jadi salah satu momen terbaik yang tidak akan terlupakan. Ada cerita menarik di sana.
Semula saya kecewa berat mendengar pengumuman bahwa saya dicoret dari Timnas Indonesia karena saat itu jujur persaingan di lini depan berat sekali. Ada Kurniawan, Miro Baldo Bento, Rochy Putiray, Seto Nurdiantoro, Bambang Pamungkas, dan saya sendiri.
Saya memutuskan pulang kampung dulu ke Salatiga. Tapi di tengah perjalanan saya di telepon asisten pelatih kalau dipanggil balik ke Timnas.
Saya minta restu orang tua di kampung, langsung balik lagi ke Jakarta. Ternyata saya terpaksa dipanggil lagi karena Rochy dan Bambang berhalangan hadir.
Rochy tak mendapat izin dari klubnya saat itu, Instant Dict [Liga Hong Kong]. Sementara Bambang Pamungkas sedang mendapat kesempatan trial di klub Belanda, EHC Norad.
 Gendut Doni Christiawan bersinar di Piala Tiger 2000. (Arsip Gendut Doni Christiawan) |
Saya sadar bakal diproyeksikan sebagai cadangan Kurniawan dan Miro Baldo. Tapi saya berhasil membuktikan si pemain buangan jadi top skor dengan koleksi lima gol.
Yang paling saya ingat saya sukses mencetak dua gol penting saat menghadapi Vietnam di semifinal. Saya bawa Indonesia unggul 1-0 sebelum disamakan Vietnam.
Seto Nurdiantoro kemudian kembali membuat Indonesia unggul 2-1 namun mampu disamakan Vietnam di menit akhir untuk memaksa pertandingan dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu.
Beruntung saya berhasil cetak gol di menit-menit akhir babak kedua extra time untuk memastikan kemenangan Indonesia 3-2. Sayang kami kalah telak 1-4 dari tuan rumah Thailand di partai puncak.
Karier saya di klub ikut naik setelah pulang dari Tiger Cup 2000. Saat itu usia saya 22 tahun dan merasakan itu sebagai salah satu momen terbaik di awal karier profesional saya. Maka itu saya mulai menggunakan nomor punggung 22 sebagai pengingat momen indah tersebut.
Di tahun yang sama, saya terima tawaran pindah ke Persija meski sempat bermasalah dengan Persijatim. Alhamdulillah saya langsung merasakan gelar juara Liga Indonesia 2001 bersama Persija.
Saya kembali mendapat kepercayaan membela Timnas Indonesia di Piala Tiger 2002. Pada edisi ini Bambang Pamungkas yang jadi top skor dengan torehan delapan gol, sementara saya cuma bikin satu gol karena sempat kartu merah juga di babak penyisihan grup.
Beruntung saya masih dipercaya tampil sebagai starter di final melawan Thailand. Ini juga salah satu momen tak terlupakan dalam karier saya di Timnas Indonesia.
Saat itu kita tertinggal 0-2 di babak pertama dari Thailand, kemudian Yaris dan saya berhasil menyamakan kedudukan jadi 2-2 hingga waktu normal berakhir.
Ada cerita aneh juga di momen ini. Sebelum pertandingan saya sempat bilang ke Yaris: "Kamu cetak satu gol, saya juga satu". Padahal cuma ngucap, eh terbukti kejadian. Ajaib juga kalau dipikir-pikir.
Namun, skor tak berubah di masa perpanjangan waktu dan pertandingan pun harus berlanjut ke babak adu penalti.
Jujur saat itu pelatih Ivan Kolev menunjuk saya sebagai salah satu algojo adu penalti. Saya menolak karena sudah sempat keram di babak tambahan waktu.
Posisi saya akhirnya digantikan Firmansyah yang kebetulan gagal cetak gol. Indonesia akhirnya kalah 2-4 di babak tos-tosan dan kami kembali pulang dengan status runner-up.
 Gendut Doni Christiawan kini menjadi asisten pelatih di Bhayangkara FC. (Dok. Bhayangkara FC) |
Pada 2002 saya meninggalkan Persija untuk gabung dengan Persikota Tangerang arahan Rahmad Darmawan. Dua tahun kemudian saya pindah ke Persebaya Surabaya untuk berduet dengan Kurniawan dan berhasil mencicipi gelar juara Liga Indonesia lagi. Ini gelar liga kedua saya setelah sebelumnya sukses bersama Persija.
Dari Persebaya saya mulai akrab gonta-ganti klub. Kebanyakan orang mungkin mencap saya sebagai pemain tidak setia. Padahal saya pilih pindah-pindah klub demi keberlangsungan karier saya.
Jadi saya sadar kelebihan dan kekurangan saya sebagai pemain bola. Saya hanya bisa bermain sebagai striker dan tak bisa main sama baiknya di posisi lain. Itu yang membuat saya memilih pindah kalau posisi saya sebagai striker mulai terancam pemain asing.
Setelah dari Persebaya saya sempat membela Arema Malang, Persib Bandung, Persitara, Pelita Jaya Bandung, Persiba Balikpapan, Persijap Jepara, hingga akhirnya pensiun di Persikota pada 2012.
Kini saya beralih profesi jadi staf pelatih dan saat ini bertanggung jawab sebagai asisten pelatih Bhayangkara FC. Saya ingin terus belajar dan meningkatkan pengalaman saya untuk melatih agar suatu saat kelak bisa berkesempatan melatih Timnas Indonesia.
Mimpi terbesar saya saat ini bisa terus berkarier sebagai pelatih klub dan mendapat kesempatan melatih Timnas Indonesia. Saya ingin membayar apa yang belum pernah saya berikan dulu, yakni gelar juara untuk Garuda.