Kami besar di Ternate. Papi saya adalah pegawai negeri dan hobi main badminton. Papi sering bertanding dan kami anak-anaknya ikut serta melihat sehingga lama-kelamaan jadi senang badminton.
Papi saya hanya hobi badminton, tetapi dia punya teknik bagus. Main pakai tangan kiri dan bisa jump smash. Namun memang tidak pernah terpikir untuk jadi atlet. Mungkin karena kami memang hanya ada di Ternate, di kampung.
Karena anak-anak senang badminton, akhirnya Papi buat lapangan di samping rumah. Lapangan dari tanah sedangkan garisnya dari bambu. Kalau kami mau main, harus timba air dan disiram dulu lapangannya agar tidak berdebu. Di situ saya diajari drop shot, smash, jumping smash.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain teknik, sadar tidak sadar, dengan kami harus nimba air, siram air, kami juga sudah latihan fisik. Jadi kalau saya pikir-pikir, kami itu seperti di film-film kung fu yang bisa punya fisik hebat karena kerja-kerja alami dan kami tidak sadari itu.
Saat masih SD, kami nonton televisi, masih hitam-putih. Di situ ada Rudy Hartono, Liem Swie King, hingga Lius Pongoh. Saya pikir, "kok kayaknya enak ya pergi ke Jakarta, main badminton terus bisa masuk TV".
Namun dengan kondisi ekonomi keluarga kami, untuk bisa mencapai prestasi tinggi di badminton seperti yang dilihat di TV dan harus ke Jakarta, sepertinya cuma bisa jadi angan-angan.
Saat saya lulus SMP, ternyata Papi bilang pada saya untuk pergi ke Jakarta, bilang memang mau mencoba. Di Jakarta, sekolah sambil main badminton. Saat itu saya sudah 16 tahun, tetapi belum termasuk telat.
Beda dengan sekarang, usia segitu sudah terbilang telat karena penanaman teknik sudah benar-benar dilakukan dari usia dini. Kalau dulu, belum seperti itu. Tetapi tetap saja, ketika saya ke Jakarta, tanding lawan pemain yang juara di Jakarta, saya dikasih 0.
Saya gabung ke PB56, klub yang dimiliki oleh Otto Malik, anak Pak Wapres Adam Malik. Di situ saya digojlok. Walaupun saya ketinggalan dibanding pemain lain, saya punya semangat dan yakin dengan tenaga yang saya punya.
![]() |
Saya juga selalu ingat kata-kata Papi sebelum berangkat ke Jakarta. Di airport, saya diberi raket dan dititipi pesan agar berjuang mati-matian. Saya dilatih ayahnya Lius Pongoh, Darius Pongoh. Papinya Lius Pongoh ini juga selalu kasih pesan agar saya selalu serius, kalau asal-asalan lebih baik pulang ke kampung.
Setelah terus berlatih, saya akhirnya bisa mulai berprestasi di Jakarta dan bisa mengikuti Indonesia Open. Di Indonesia Open, saya menang lawan Misbun Sidek yang saat itu sedang top-topnya. Akhirnya saya dipanggil ke Pelatnas Cipayung.
Selama berlatih di Jakarta, saya juga rutin kirim modul latihan ke Ternate. Saya lihat pelatihan di klub bila dibandingkan pelatihan yang ada di Ternate itu jauh sekali. Begitu saya mulai sukses, saya mulai bilang ke adik-adik saya untuk satu per satu datang ke Jakarta. Di situ mulai satu per satu datang. Rexy masuk Ragunan, Marleve masuk Tangkas, lalu Rionny dan Karel juga menyusul.
Setelah kami semua sukses sebagai pemain, baru keluarga besar ikut pergi ke Jakarta. Kakak saya jadi Pendeta sedangkak adik saya yang perempuan, nomor enam, bekerja dan punya bisnis.
Menjadi kakak dari adik-adik yang punya cita-cita jadi pebulutangkis dan merantau di Jakarta, saya sama sekali tidak merasa berat. Saat itu saya sudah mulai punya uang saku hasil dari kontrak dan prize money. Jumlahnya Rp250 ribu dan itu besar sekali. Yah walaupun bila dibandingkan dengan prize money saat ini tetap bagaikan langit dan bumi hahaha..
Adik-adik saya tidak pernah memberatkan soal uang. Karena mereka juga masuk klub, jadi soal kebutuhan harian sudah banyak ditanggung. Selain itu kami sekeluarga adalah sosok yang pekerja keras.
Sejak di Ternate, kami sudah terbiasa berjuang untuk diri sendiri. Misal dengan berjualan koran. Karena itu saya lihat tidak ada yang kesusahan menghadapi situasi di Jakarta karena kami sudah terbiasa kerja keras. Itu yang buat saya salut pada orang tua karena didikan mereka berarti berhasil.
Andai dibayangkan, bila saya tidak bisa sukses bersaing di Jakarta, mungkin saya tidak akan merekomendasikan adik-adik saya untuk datang ke Jakarta. Tetapi karena saya lihat saya bisa mengatasi segala kesukaran yang ada sejak di klub, saya yakin adik-adik saya pun bisa. Karena saya dan adik-adik saya sudah terbiasa dengan kehidupan keras di Ternate.
Saya masuk pelatnas di nomor tunggal, tetapi kemudian sempat berpasangan dengan Ricky Soebagdja di nomor ganda. Kami sempat memimpin race to Olympics usai juara Polandia. Saat itulah Pak Christian Hadinata memecah saya dengan Ricky, lalu Ricky dipasangkan Rexy Mainaky.
Saya tidak kecewa karena saya pikir Pak Christian mungkin melihat dari segi lain dan punya penilaian sendiri bahwa bila Ricky dengan Rexy akan lebih bagus.
Jadi saya tidak ada masalah. Malah saya berkata pada Ricky, "Demi kemajuan kau dan adik saya, saya minta jangan sia-siakan. Teruskan perjuangan saya".
Itu yang saya tanamkan pada mereka dan akhirnya jadilah duet Ricky/Rexy.
Selepas selesai jadi pemain, saya lalu jadi pelatih dan dipercaya menangani sektor ganda campuran. Setelah 26 tahun, saya bisa menciptakan juara dunia, juara All England, dua perak Olimpiade, dan satu emas Olimpiade, saya merasa cukup.
Sebenarnya saya sudah kepikiran untuk berhenti sejak Olimpiade 2016 usai, tetapi Butet saat itu masih mau tampil di Kejuaraan Dunia 2017 jadi saya ikut lanjut. Lalu setelah itu dari PBSI ada permintaan untuk mengawal Praveen/Melati hingga Olimpiade 2020.
Saya bilang saya bersedia jadi kepala pelatih, tetapi soal keberangkatan ke Olimpiade itu urusan Nova Widianto. Karena saya punya program, setelah saya mundur, Nova yang naik jadi kepala pelatih.
![]() |
Selama 26 tahun, saya bangun Subuh, istri saya buatkan kopi dan sarapan. Lalu saya berangkat ke Pelatnas. Istirahat siang pun bisa dibilang tak tentu karena ada pemain yang minta tambahan latihan.
Lalu saya baru pulang ke rumah di malam hari. Sabtu juga masih latihan. Begitu terus selama 26 tahun. Istri dan anak saya berbesar hati mengizinkan saya untuk mencurahkan pikiran dan tenaga sepenuhnya untuk Pelatnas Cipayung.
Sejak Pak Christian Hadinata meminta saya menangani ganda campuran, saya merasa sudah menjalankan tugas mengangkat gengsi nomor ganda campuran.
Karena itulah saya merasa bersyukur pada Tuhan dikasih berkat bisa menciptakan juara dunia. Senang dan bangga di tangan saya, dibantu Nova, Vita Marissa, dan Aryono Miranat, dari tahun 2000 saya bisa mencetak 1 emas dan 2 perak Olimpiade, empat kali juara dunia, dan lima kali juara All England, serta puluhan gelar Super Series. Coba telusuri, pelatih Indonesia mana yang bisa?
Itu yang membuat saya merasa cukup. Kalau saya begini terus, kapan waktu saya sama keluarga.
Setelah meninggalkan dan pensiun dari Pelatnas Cipayung, kenapa saya masih melatih?
Saat memutuskan meninggalkan Pelatnas Cipayung, saya izin ke PB Djarum untuk pulang ke Manado dan melatih di sana. Saya meminta ada klub yang bisa jadi mitra PB Djarum dan saya melatih di sana. Akhirnya terpilihlah PB Talenta.
Saya memang masih melatih, berangkat pagi, pulang sore. Namun anak saya kini bisa ikut melatih di GOR. Istri saya juga bisa datang dan berbincang dengan orang tua murid dari anak-anak yang berlatih.
Saya lebih banyak waktu bersama keluarga dan itu rasanya nikmat sekali.