Jakarta, CNN Indonesia --
PBSI telah menorehkan salah satu catatan kelam dalam sejarah badminton Indonesia di Asian Games. PBSI harus bergerak cepat agar terhindar dari kegagalan yang lebih besar yaitu tanpa medali emas di Olimpiade.
PBSI memasang target tiga medali emas dan target itu benar-benar di luar jangkauan. Target bukan hanya gagal digenggam, melainkan benar-benar hanya jadi angan-angan.
Bukan hanya gagal merebut tiga medali emas, Tim Badminton Indonesia bahkan tak mampu mempersembahkan medali. Hal ini yang kemudian jadi catatan kelam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di atas kertas, target tiga medali emas Asian Games jelas realistis. Tim beregu putra, Anthony Ginting, dan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto menempati posisi unggulan pertama. Belum lagi nama-nama unggulan lain seperti Jonatan Christie dan Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva.
Karena itulah ketika tak ada satu pun pebulutangkis Indonesia yang naik podium, laga Asian Games benar-benar jadi hari-hari yang suram untuk mereka.
Berkaca dari catatan kelam dan suram tersebut, PBSI wajib memastikan Tim Badminton Indonesia tidak lantas akan terus benar-benar tenggelam.
Evaluasi telah dilakukan oleh PBSI. Dalam paparan yang ada, PBSI telah menjelaskan sebab-sebab kegagalan yang dialami oleh para pemain.
Dalam paparan Rionny Mainaky, mental jadi faktor utama di balik kegagalan tersebut. Pemain merasa tertekan karena target harus juara dan tuntutan tidak boleh kalah. Hal itu yang kemudian mendorong pemain menjadi ragu-ragu dalam bermain.
Ketegangan para pemain itu yang kemudian berpengaruh besar pada hasil pertandingan. Pemain tidak lagi bisa menikmati permainan di lapangan.
Ketika permainan tidak lagi dapat dinikmati, peluang menelan kekalahan akan terbentang lebih besar. Itulah yang terjadi dalam hari-hari pertandingan di Hangzhou, China.
Dari segi materi pemain, skuad Tim Badminton Indonesia saat ini terbilang lebih baik dibanding skuad Indonesia jelang Olimpiade 2012 saat Indonesia hampa medali di Olimpiade. Karena itu, keberhasilan atau kegagalan di Olimpiade Paris 2024 mendatang bakal lebih banyak ditentukan oleh sentuhan-sentuhan PBSI terhadap para pemain menuju arena pertempuran tersebut.
Pada paparan-paparan yang disampaikan oleh Rionny, tataran evaluasi yang disampaikan terbilang masih berupa hal-hal yang sifatnya umum. Rincian detail-detail dari tiap poin tentu tidak dijabarkan dan hal itulah yang nantinya bakal berpengaruh besar terhadap hasil yang terlihat di masa depan.
PBSI telah mengumumkan poin-poin untuk perbaikan. Kini tinggal bagaimana mereka melaksanakan dan bertindak sesuai dengan poin-poin yang telah mereka janjikan.
Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>
Asian Games telah selesai dan Tim Badminton Indonesia tidak punya waktu dua tahun untuk bersiap menuju Olimpiade seperti edisi-edisi Asian Games sebelumnya. Hanya ada waktu sembilan bulan menuju Olimpiade dan pelaksanaan poin-poin evaluasi yang telah dipaparkan itu yang bakal dinanti hasilnya.
Fisik pemain akan ditingkatkan. Cedera-cedera pemain akan ditangani dengan baik. Massa lemak pemain bakal diperhatikan lebih serius. Motivator dihadirkan dan sesi konseling dengan psikolog di luar pelatnas diizinkan.
Poin-poin ini adalah poin-poin yang detail pelaksanaannya perlu diperhatikan perkembangan dari hari ke hari. Kontrol ketat terhadap poin-poin yang diterapkan adalah hal yang mutlak dilakukan, termasuk membentuk tim yang bertugas mengawal ketat poin-poin yang masuk dalam pemantauan.
Dengan pemantauan detail dari hari ke hari, minggu ke minggu, PBSI akan punya data perkembangan tiap atlet. Alhasil, kondisi pemain tidak akan terlihat berdasarkan pemantauan lewat mata saja, melainkan didukung dengan data.
Atlet-atlet yang masuk prioritas menuju Olimpiade Paris 2024 tentu harus dikedepankan berkaitan dengan pemantauan berkala. Dan yang terpenting, prioritas atlet Olimpiade oleh PBSI tidak boleh hanya memberi batas hanya pada dua atlet/pasang per nomor. Mereka yang masih berpeluang lolos tetap wajib dimasukkan dalam atlet prioritas sehingga persaingan internal tetap tercipta.
Dalam paparan evaluasi PBSI, masalah terbesar soal penanganan cedera atau keputusan untuk ikut turnamen lebih selektif adalah terkait perjuangan merebut tiket menuju Olimpiade Paris 2024. Keinginan untuk selektif mengikuti turnamen, termasuk agar terhindar dari cedera, bakal berbenturan dengan harapan meraup banyak poin demi tiket Olimpiade 2024.
 Pasukan ganda putra macam Leo/Daniel akan kesulitan untuk ikut pemberlakuan selektif mengikuti turnamen karena persaingan internal yang terbilang ketat. (ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT) |
Terlebih untuk nomor tunggal putra, ganda putra, dan ganda campuran yang persaingan di internal terbilang masih terbuka. Gregoria Mariska di nomor tunggal putri dan Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva terbilang aman karena posisi mereka cukup aman sebagai wakil terdepan di masing-masing nomor.
Untuk Gregoria dan Apri/Fadia, pilihan untuk selektif mengikuti turnamen bisa dilakukan. Baik itu bertujuan untuk menjaga cedera maupun mengatur peak performance.
Sedangkan di tiga nomor lainnya, persaingan internal terbilang masih terbuka. Hal ini yang bisa jadi mendorong terganggunya keinginan untuk lebih selektif memilih turnamen jelang Olimpiade di tahun depan.
Pilihan-pilihan krusial ini yang bisa jadi penentu dalam beberapa bulan mendatang. Karena itulah dalam upaya menetapkan pilihan yang tepat, PBSI butuh data penunjang dalam keseharian atlet-atlet yang berlaga.
PBSI telah menyuarakan poin-poin evaluasi yang diperlukan untuk perbaikan. Kini, PBSI tidak boleh bergerak lambat. Mereka dituntut bergerak cepat dan cermat dalam waktu yang singkat. Bila PBSI kembali mengambil langkah yang lambat, bisa jadi Tim Badminton Indonesia kembali tidak selamat.
[Gambas:Video CNN]