Kebijakan klub, para pelatih dan pemain, juga bukan satu-satunya variabel mengapa banyak perilaku kasar di EPA 2023. Kepemimpinan wasit yang dianggap kurang adil punya pengaruh besar.
"Saya tiga kali nonton EPA U-20 secara langsung: di Magelang, Solo, dan Bandung. Wasitnya enggak konsisten, itu problem yang bikin pemain dan pelatih jadi uring-uringan," katanya.
"Dari tiga tempat yang saya datangi itu [Magelang, Solo, dan Bandung] tiga-tiganya selalu ada kartu merah," ucap lelaki yang juga aktif mengelola kompetisi sepak bola usia muda ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agar hal semacam ini tidak berlanjut terus menerus dan menjadi wajah bopeng sepak bola Indonesia, PSSI harus mengambil langkah. Federasi tak bisa hanya memberi sanksi atas fenomena yang terjadi.
PSSI sebagai induk sepak bola Indonesia diharapkan lebih serius menata EPA di semua lapisan usia. Kendati kompetisi sudah berjalan, belum terlambat bagi PSSI melakukan pembinaan lebih serius.
"Satu, sebelum EPA dimulai, harus ada workshop untuk para peserta [pemain dan pelatih]. Buat kegiatan pra EPA, jabarkan tujuan event ini apa, datangkan psikolog, dan lain-lain," kata Yusuf.
"Dua, tim-tim EPA harus teken kontrak pembinaan jangka panjang, sehingga pemain-pemain yang mereka bina punya kepastian masa depan [ada promosi degradasi] dan klubnya punya tanggung jawab profesional."
![]() |
Solusi ketiga yang ditawarkan Yusuf adalah pengawasan. Dalam hal ini PSSI mengawasi dengan baik proses pembentukan tim EPA oleh klub, sehingga tidak ada lagi cerita klub asal comot pemain.
Praktik kotor berupa pungutan liar dari pihak klub agar pemain bisa main di EPA, juga harus diawasi dengan baik. Isu ini sudah menjadi rahasia umum dan diyakini masih terjadi hingga kini.
"Ketiga, PSSI harus melakukan pengawasan untuk kelayakan para peserta EPA. Bagaimana tim merekrut pemain, bagaimana metode dan filosofi latihannya, dan lain-lain," katanya.
(abs/nva)