Jakarta, CNN Indonesia --
Setiap pembalap pasti akan terkesan jika bisa tampil di kejuaraan dunia atau Grand Prix. Alhamdulillah saya dapat kesempatan tampil di GP125 yang digelar di Sirkuit Sentul pada 1996 dan 1997 sebagai pembalap wild card.
Bisa dibilang di era modern saya adalah salah satu pembalap pertama Indonesia yang tampil di Grand Prix. Meskipun sebenarnya di era lamanya ada Om Benny Hidayat yang juga pernah ikut Grand Prix tapi mungkin tidak pernah disiarkan. Tapi, kalau di era modern bisa dibilang saya pelopor di Grand Prix.
Saya juga senang sekali bisa dapat pengalaman balap bersama Valentino Rossi di GP125 di Sirkuit Sentul pada 1997. Meski saya tahu diri karena ini kejuaraan dunia. Kalau patok target menang apalagi bisa mengalahkan Rossi ya enggaklah. Saya mainnya rileks saja. Apalagi Rossi itu sudah juara-juara terus di GP125 pada 1997. Kalau di 1996 dia tidak tampil di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun bisa dibilang aura bintang dan nyentrik-nya Rossi itu memang sudah terlihat sejak dia masih muda. Saya pun sangat terkesan karena bisa bertemu dengan bintang-bintang balap dunia yang selama ini cuma bisa dilihat di televisi saja.
Di GP500 ada Mick Doohan. Saat itu dia welcome banget sama pembalap-pembalap wildcard. Mereka mau mau ngajarin kami. Tidak ada yang macam-macam dan tidak ada yang sombong. Saya pun sempat say hello dengan Rossi dan Doohan.
Tapi bagi saya tampil di GP125 itu adalah pengalaman baru karena dari cara naik motor GP125, riding position, cara belok, secara teori semuanya berbeda dari motor-motor yang pernah saya naiki sebelumnya.
Jelang GP125 Indonesia waktu itu saya sempat dilatih khusus oleh gurunya Norick Abe. Dia pesan ke saya waktu itu 'jika semakin cepat motor Anda, maka Anda harus semakin merunduk dan harus jarang bangun!'. Saya pun harus belajar cepat dalam waktu terbatas karena motor saya itu baru datang satu bulan sebelumnya dan saya cuma bisa berlatih beberapa kali.
Hasilnya pada GP125 Indonesia 1996 saya finis ke-21, lalu pada GP125 Indonesia 1997 saya gagal finis karena terjatuh. Tidak masalah karena positifnya saya dapat pengalaman berharga dan setelah itu kepercayaan diri saya dalam balapan semakin bertambah.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Waktu aktif sebagai pembalap saya sempat dijuluki Raja Sentul. Bagi saya itu kehendak Allah karena setiap balap di Sentul saya selalu juara di semua kelas mulai 110 cc, 125 cc, 150 cc, dan 600 cc. Bahkan, orang-orang sampai bilang begitu 'Ahmad Jayadi itu kalau balapan di Sentul tutup mata juga juara'.
Di samping cerita berkesan tentunya saya juga punya cerita yang paling menyedihkan dalam karier yaitu ketika kecelakaan parah waktu kualifikasi Road Race Kejurnas di Indramayu pada 2004. Ini menjadi kecelakaan paling parah yang saya alami. Sampai orang-orang mengira saya sudah meninggal.
Awalnya, saya sudah memimpin catatan waktu saat kualifikasi di Kejurnas Indramayu. Saat sesi kualifikasi masih berlangsung saya kemudian ketiduran di paddock. Di lima menit terakhir kualifikasi, tiba-tiba mekanik saya datang dan membangunkan saya.
Dia bilang posisi saya sekarang ada di nomor kedua, sedangkan Hendriansyah rival saya menempati urutan satu dengan keunggulan 0,2 detik. Ya sudah saya masuk trek lagi karena saya yakin satu atau dua lap lagi bisa mengalahkan catatan waktu Hendriansyah.
Pas keluar, saya paksa memacu motor dengan kecepatan tinggi di tikungan. Di situ saya mengalami kecelakaan parah. Saya 'terbang' dari motor dan badan saya terbentur tiang listrik. Seketika saya langsung tidak sadarkan diri. Saya langsung dilarikan ke rumah sakit.
Alhamdulillah saya masih hidup. Walaupun, saya harus hilang ingatan selama enam bulan. Semua memori saya hilang. Saya tidak kenal orang sama sekali. Bahkan, misalnya saya baru ngobrol sama seseorang tak lama kemudian saya langsung lupa apa yang kami bicarakan.
Setelah kejadian itu saya dibawa pindah-pindah rumah sakit dari Indramayu, Cirebon, Jakarta, hingga Karawaci. Terakhir saya MRI di Karawaci, dokter bilang saya tidak apa-apa. Meskipun saya alami luka dalam. Tapi, ternyata alhamdulillah dampaknya tidak terlalu parah karena saya pakai helm bagus dan terbaik.
Sejak saat itu (2004) saya putuskan tidak mau lagi balapan road race di sirkuit buatan. Maksudnya sirkuit non permanen yang pembatasnya pakai karung beras itu karena di situ ada trotoar, ada tiang listrik, dan sebagainya. Itu bahaya. Saya hanya mau balap di sirkuit permanen.
Dilalahnya ada seleksi dari tim Suzuki untuk kejuaraan Asia Supersport 600cc. Jadi ada tim Jepang butuh satu pembalap dari Indonesia. Alhamdulillah saya lolos seleksi. Sejak saat itu saya juara terus di 600cc. Saya tidak terkalahkan di Sentul kalau balap 600cc.
Mungkin itulah kenapa orang menyebut saya legenda karena tidak akan mungkin ada orang yang kayak saya bisa juara di seluruh kelas. Dari kelas 110cc, 125cc, 150cc sampai 600cc juara semua. Mungkin sampai saat ini belum ada pembalap di Indonesia yang kariernya seperti saya.
Padahal di awal karier, saya tidak begitu mengerti dunia balap motor itu seperti apa, karena lingkungan saya itu bukan lingkungan pembalap. Saya itu tinggal lingkungan yang religius. Ayah saya lulusan pesantren, hari-harinya jadi guru ngaji dan pedagang material.
Saudara-saudara saya juga lulusan pesantren, jadi tidak ada lingkungan motor awalnya. Seharusnya mungkin arah masa depan saya waktu itu ya jadi ustaz. Tapi tahu-tahu saya berkarier di dunia motor.
Mungkin karena awalnya waktu kecil usai saya disunat saya dapat hadiah sepeda BMX. Kata orang kampung saya tuh kalau ada lomba sepeda waktu 17 Agustus-an selalu ugal-ugalan dan juara terus. Dari situ makanya saya punya bakat balap. Sampai-sampai saya coba untuk ikut road race hingga akhirnya jadi pembalap sampai akhirnya saya pensiun 2011.
[Gambas:Video CNN]