Jalan instan naturalisasi sudah mulai terasa di Timnas Indonesia. Permainan tim asuhan Shin Tae Yong naik kelas di pentas Asia.
Situasi ini tentu saja membuat beberapa pihak risau. Salah satu yang berani menyatakan pendapatnya adalah Muhammad Tahir. Ia kecewa dengan program panjang naturalisasi.
Pernyataan Tahir lantas diserang. Ini tak lain karena mantan pemain Persipura tersebut menyebut kualitas pemain Liga 1 dengan pemain naturalisasi hanya 11-12.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tahir niscaya bukan satu-satunya. Kiranya ada banyak pemain yang risau dengan program ini, tetapi tak berani menyatakan pendapat. Netizen sangat bengis ke pemain anti-naturalisasi.
Pasalnya sudah berpuluh-puluh tahun netizen menanti masa jaya Timnas Indonesia. Saat pemain yang besar di kompetisi lokal sulit untuk diharapkan, kini naturalisasi jadi harapan.
Apalagi naturalisasi kali ini berbeda dengan era sebelumnya. Kini pemain yang dinaturalisasi PSSI adalah pemain-pemain yang punya darah keturunan Indonesia, maksimal dari kakek dan nenek.
Bisa dibilang, ini adalah era pukulan keras bagi pemain lokal. Para pemain dituntut meningkatkan kualitasnya agar bisa bersaing dengan pemain keturunan diaspora.
Gaya hidup pemain Indonesia, yang sudah menjadi rahasia umum dan selalu dikritik keras namun kurang berdampak, saatnya diperbaiki. Ini momentum perlawanan pemain lokal.
Tentu saja melawan situasi ini dengan menunjukkan kualitas. Tekanan yang datang dengan bertubi-tubi, biasanya membuat seorang pemain tertempa kapasitasnya.
Ketergantungan PSSI untuk Timnas Indonesia dengan pemain naturalisasi niscaya ada titik jenuhnya. Akan ada saat program ini dijeda atau malah dihentikan.
Sambil menunggu saat itu tiba, stakeholder sepak bola Indonesia sepantasnya mendesak PSSI menghidupkan kompetisi usia muda. Sepak bola akar rumput harus dihidupkan.