Membahagiakan semua pihak kiranya mustahil. Akan selalu ada pihak-pihak yang apatis dan skeptis. Keberadaan Shin Tae Yong di Timnas Indonesia selama 4,5 tahun pun demikian.
Bagi mereka yang skeptis, kebijakan menaturalisasi banyak pemain keturunan dianggap jalan pintas. Persoalannya, pemain-pemain keturunan ini mendapat seperti dapat karpet merah. Istimewa.
Hadirnya pemain-pemain yang tumbuh dalam iklim sepak bola yang sehat ini membuat potensi nasional agar tersingkir. Standar tinggi Shin dicibir dengan beragam perbandingan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sudah begitu, komunikasi Shin dengan klub-klub kompetisi kasta teratas Indonesia tidak terjalin dengan baik. Salah satunya dengan Thomas Doll yang musim lalu menangani Persija.
Shin disebut enggak berkomunikasi langsung dengan pihak klub. Mantan pelatih Seongnam Ilhwa Chunma ini lebih memilih menunjuk wakilnya bersama PSSI untuk berkomunikasi.
Ini kontras dengan sikap pelatih sebelumnya, Luis Milla Aspas dan Simon McMenemy. Milla bahkan beberapa kali berinteraksi dengan pelatih-pelatih Liga 1 untuk menyamakan persepsi Timnas Indonesia.
Karena itu ada harapan dari pelatih-pelatih klub, utamanya mereka yang bergerak di akademi, untuk menimba ilmu dari Shin. Dalam tiga tahun ke depan Shin diharapkan lebih peduli.
![]() |
Kritik lainnya terkait kepelatihan Shin di Indonesia adalah adaptasi bahasa. Dalam hal budaya Shin bisa lebih cepat memahami dinamika, tetapi tidak dengan bahasa.
Dalam 4,5 tahun di negeri 1000 pulau ini, Shin belum lancar berbahasa Indonesia. Padahal, menurut pengalaman banyak pemain asing, tidak terlalu sulit menguasai bahasa Indonesia.
Soal ini, Shin telah mengatakan hendak belajar bahasa. Dalam beberapa kesempatan ia sudah mengucapkan bahasa, meski terbata-bata. Namun ini sebuah kemajuan sikap keras kepalanya.
Inilah sisi 'Yin' Shin di Timnas Indonesia. Tidak terlalu mayor, tetapi tetap dianggap penting bagi mereka yang apatis. Walau begitu, suara mereka perlu didengar karena dasarnya juga cinta.
(nva)