Fadil Imran di periode kepengurusan sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Jenderal. Namun sejak Tim Ad Hoc Olimpiade terbentuk pada Januari tahun ini, Fadil Imran jadi Ketua Tim Ad Hoc.
Sebagai Ketua Tim Ad Hoc, sejatinya Fadil Imran seperti sudah menjalani peran Ketua Umum dalam setengah tahun terakhir ini. Segala macam laporan tentang plus minus persiapan tentu datang dan hadir ke hadapannya.
Karena itu Fadil Imran tidak akan jadi orang baru dalam periode yang datang. Fadil Imran pasti paham bahwa penanganan cedera atlet Indonesia masih jauh dari harapan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada atlet-atlet yang bergumul dengan kondisi cedera selama berbulan-bulan, tanpa kejelasan tahap-tahap proses penyembuhan. Hal ini jelas tak boleh terulang.
Harus diakui ada momen saat atlet gentar menghadapi kenyataan tindakan operasi harus dilakukan. Momen inilah PBSI harus hadir memberi pengertian bahwa operasi mungkin jadi cara terbaik untuk lepas dari cedera, ketimbang hanya perawatan ala kadarnya yang tentu tidak akan membuat performa pemain jadi maksimal.
Selain itu aturan persyaratan pembatasan ranking memang semestinya cepat dihapus. Karena bila tidak hal itu akan merusak ekosistem badminton di Indonesia.
Lama-lama pemain badminton bisa saja berkurang karena sumber tujuan berkarier hanya satu arah yaitu Pelatnas Cipayung. Pemain-pemain yang ada di luar Pelatnas Cipayung bakal kesulitan mengikuti turnamen.
![]() |
Dengan penghapusan pembatasan syarat ranking, disertai gelaran turnamen kategori dewasa yang kembali digalakkan, ekosistem badminton di Indonesia bisa tetap berjalan. Pemain-pemain badminton punya harapan bahwa masih ada jalan lain ketika pintu Pelatnas Cipayung sudah tertutup atau tak pernah terbuka untuk mereka.
Fadil Imran tentu juga sudah sadar bahwa regenerasi jadi hal yang krusial. PBSI akan berada dalam persimpangan kebimbangan untuk menentukan pemain yang layak diproyeksikan untuk memburu emas Olimpiade Los Angeles 2028.
Di satu sisi, pemain-pemain utama saat ini akan banyak yang sudah berumur 30 tahun ketika Olimpiade 2028 datang. Di sisi lain, tim pelapis, pada titik ini, masih jauh tertinggal dari tim utama yang ada.
Selain berbicara proses regenerasi yang ada satu langkah di belakang pemain utama, PBSI juga harus menyiapkan regenerasi untuk proses pemain yang ada di beberapa langkah berikutnya alias pemain-pemain yang saat ini masih masuk kategori pratama.
Mungkin hasil tidak akan bisa dipetik dalam kurun waktu empat tahun ke depan, namun dengan serius mempersiapkan mereka sejak saat ini, kekosongan generasi bisa dihindari. Bahkan bila berjalan lancar, bisa saja ada bibit potensial yang langsung melesat cepat jadi pemain utama dalam empat tahun ke depan.
Syaratnya, pemain-pemain muda mesti rutin dikirim ke berbagai turnamen. Pengiriman pemain muda ke turnamen bukan hanya soal mengasah jam terbang atau uji kemampuan setelah latihan, melainkan agar mereka juga bisa pelan-pelan merangkak naik dalam sistem peringkat dunia.
Tanpa ada pengiriman rutin, pemain-pemain muda bakal mandek di luar 100 besar meskipun secara kemampuan mungkin terus berkembang. Jika itu yang sudah terjadi, mereka akan kesulitan menembus turnamen-turnamen level elite di masa depan dan akhirnya ada waktu yang terbuang untuk menutupi kekurangan tersebut.
Fadil Imran juga mesti menaruh telinga di banyak tempat, mulai dari pinggir lapangan latihan hingga ke ruang-ruang tempat penggemar badminton menyampaikan pendapat. Jangan hanya meletakkan telinga di meja dan mendengar dari laporan-laporan yang diterimanya.
PBSI memang sedang dalam kondisi sakit dan kesakitan, namun bila satu per satu luka dan kekurangan yang ada disembuhkan, harapan melihat Fadil Imran memimpin PBSI kembali berlari kencang masih bisa jadi sebuah kemungkinan yang mampu diwujudkan.