Jakarta, CNN Indonesia --
Ada masa Timnas Indonesia bisa mengalahkan Australia di kandang pada 1981. Ini isyarat bahwa tim Garuda bisa mengulang sejarah 43 tahun silam.
Timnas Indonesia dan Australia akan bentrok untuk ke-19 kalinya pada Selasa (10/9) malam dalam ajang Kualifikasi Piala Dunia 2026 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
Sejak pertama kali bertemu pada 7 November 1967, Indonesia kalah 15 kali, tiga kali imbang, dan sekali menang. Satu-satunya kemenangan itu tercipta pada 30 Agustus 1981.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika itu, satu-satunya gol Indonesia dilesakkan Risdianto pada menit ke-88. Gol ini membuat seisi Stadion Gelora 10 November, Surabaya bergemuruh penuh kegirangan.
Apakah kegembiraan seperti itu bisa terulang di GBK? Potensinya ada. Hasil imbang 1-1 melawan Arab Saudi, Kamis (5/9), menjadi modal berharga Merah Putih menatap Australia.
Apalagi tim asuhan Graham Arnold ini kalah 0-1 dari Bahrain (5/9). Meski kalah karena tampil dengan 10 pemain, setelah Kusini Yengi diganjar kartu merah, jadi situasi positif bagi Indonesia.
Kekalahan tersebut memberi pukulan telak bagi Mathew Ryan dan kawan-kawan. Sebagai tim terbaik ketiga Asia berdasarkan peringkat FIFA, Australia tumbang dari tim guram Bahrain.
Indonesia sebagai kuda hitam yang tidak begitu diperhitungkan punya kans membuat kejutan yang sama. Asal tampil disiplin sepanjang laga, Australia akan frustrasi di hadapan 70 ribu suporter Indonesia.
Namun, pada pertemuan terakhir, di Piala Asia 2023 (2024), Indonesia dibantai 4-0. Kekalahan ini memperlihatkan kualitas Indonesia jauh tertinggal dibanding Australia.
Hanya saja skuad Indonesia agak berbeda. Ada enam pemain baru yang bisa mengubah situasi, yakni Marteen Paes, Jay Idzes, Calvin Verdonk, Thom Haye, Nathan Tjoe-A-On, dan Ragnar Oratmangoen.
Mereka ini jadi pilihan utama Shin Tae Yong saat melawan Arab Saudi. Pemain-pemain naturalisasi dari Belanda ini membuat permainan Indonesia lebih dinamis dan bertenaga.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Selama era kepelatihan Shin Tae Yong, Timnas Indonesia hanya dua kali tumbang di Stadion Utama Gelora Bung Karno: dari Argentina dan Irak.
Memang tidak klinis catatannya, tetapi tetap saja GBK masih bertuah bagi Timnas Indonesia. Kehadiran suporter, yang mencapai lebih dari 70 ribu orang, bisa membuat gentar lawan.
Energi positif suporter ini semoga bisa mengatrol daya juang, motivasi, dan mentalitas pemain. Pasalnya, sejarah mencatat, menit-menit akhir masih menjadi momok bagi Indonesia.
Selama 2024 saja, dari 24 gol yang bersarang ke gawang Indonesia, hampir setengahnya tercipta pada menit-menit akhir. Ya, ada 11 gol yang tercipta di menit-menit krusial.
Saat imbang dengan Arab, Indonesia kebobolan di menit ke-45+3. Begitu pula saat kalah 0-4 dari Australia di Piala Asia, tiga gol tercipta di menit akhir. Ini peringatan darurat bagi Shin.
Secara teknis, duel lini tengah dan sayap sepertinya akan menjadi penentu hasil akhir. Jika Thom Haye dan Ivar Jenner (saat melawan Arab Saudi) tampil stabil, Australia akan kepayahan.
[Gambas:Photo CNN]
Kecepatan dan kelihaian winger Australia juga sangat perlu diantisipasi. Pemain dengan daya tahan dan juang tinggi, seperti Asnawi Mangkualam dan Calvin Verdonk, bakal sangat berguna.
Untuk lini pertahanan, Shin tak risau lagi. Semua pemain dalam kondisi yang prima. Idzes, Rizki Ridho, Muhammad Ferarri, Justin Hubner, atau Wahyu Prasetyo sama-sama siap tempur.
Tinggal bagaimana kejelian Shin mengatur para tembok pertahanan ini. Ketajaman analisis Shin atas kekuatan lawan akan dituangkan dalam pemilihan tiga dalam formasi 3-4-3 atau 3-5-2.
Beralih ke lini depan, kuncinya kecerdikan. Bek-bek Australia memiliki ketahanan fisik tinggi dan andal dalam duel satu lawan satu. Kiranya tidak bisa individu pemain jadi senjata.
Akankah ada kejutan dari Shin di lini depan? Pragmatisme strategi STY menunjukkan tidak. Karena itu kecerdikan Shin Tae Yong akan jadi kunci sejarah 43 tahun silam bisa terulang atau tidak.
[Gambas:Video CNN]