Sebelumnya, pada era Shin Tae Yong, Timnas Indonesia pernah mencoba bermain progresif; meninggalkan skema parkir bus; menjauhi konsep serangan balik, yang hasilnya hancur lebur.
Itu terjadi pada babak 16 besar Piala Asia 2023 (2024). Dalam laga melawan Australia itu Indonesia benar-benar tampil beda dan lepas. Permainan Garuda tidak lagi menjemukan.
Namun hasil akhirnya adalah kalah 0-4. Australia dengan serangan baliknya dengan begitu mudah membobol gawang Indonesia. Ini ibarat pembuktian Indonesia belum siap main indah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, Patrick Kluivert akan berhadapan dengan realitas yang sama. Apakah Kluivert akan membawa strategi total football modern yang mendominasi dan menyerang sejak menit awal?
Ataukah Kluivert akan pragmatis seperti pendahulunya? Yang pasti, Kluivert bersama asistennya yang disebut PSSI sebagai 'super team' sudah menyiapkan kejutan bagi Australia.
Kendalanya, waktu persiapan Indonesia relatif singkat. Dengan sejumlah wajah baru, Kluivert hanya punya waktu bersiap tiga hari menjelang laga. Bahkan hanya ada dua sesi latihan di lapangan.
Diakui atau tidak, situasi ini akan memberi efek. Karenanya pula tinggal bagaimana magis atau mistisisme Kluivert, dalam arti kebrilianan ide, menentukan gaya main Timnas.
Kepiawaian Patrick membangun permainan, lewat lini tengah, juga bisa menentukan hasil akhir. Dalam hal ini peran Thom Haye atau Ivar Jenner atau Joey sangat dinanti bentuknya.
Pasalnya lini tengah Australia terbilang cerdik dan licik. Irvine salah satu pengendali atau dalang permainan mereka. Saat Irvine gagal dibendung, gawang Maarten Paes berbahaya.
Kondisi Australia yang ditinggal sejumlah pilar karena cedera, sepantasnya pula tak dianggap keuntungan. Ini bisa melemahkan daya juang di lapangan.
Jika daya juang, etos kerja, bentuk permainan, juga keuletan di lapangan telah maksimal, hasil bisa mudah diterima. Atmosfer inilah yang sangat dinanti suporter Timnas Indonesia.