Jakarta, CNN Indonesia --
Kalau tidak ciut nyalinya, minimal bergetar hatinya. Begitulah kira-kira nasib Bahrain saat melawan Timnas Indonesia di Jakarta.
Di depan sorot 69.599 pasang mata di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Bahrain tak berkutik. Kedigdayaan mereka runtuh di hadapan suporter Garuda.
Datang dengan kepercayaan diri tinggi bisa mencuri poin, Bahrain dihajar 0-1 oleh Jay Idzes dkk pada Selasa (25/3) malam. Bahrain terpaksa pulang dengan tangan hampa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adalah Ole Romeny yang menjadi antagonis bagi Bahrain dan protagonis bagi Indonesia. Golnya pada menit ke-24 membuat The Red Devils mati gaya. Ole tampil oke.
Mendapat bola sodor Marselino Ferdinan yang meneruskan umpan lambung Thom Haye, penyerang Oxford United ini dengan dingin memperdaya kiper Bahrain, Ebrahim Lutfalla.
Ole memang bukan striker murni, tetapi ia punya naluri alami sebagai pemain nomor sembilan. Sosok ujung tombak inilah yang sangat-sangat dicari Timnas Indonesia.
Dua gol dalam dua laga --mencetak satu gol ke gawang Australia dan Bahrain-- jadi bukti instingnya. Setidaknya, dengan nada sedikit sombong, kini paruh Garuda tak lagi tumpul.
Ada predator di depan, lini tengah tim Merah Putih juga kian solid. Kehadiran Joey Pelupessy membuat jantung permainan Indonesia lebih stabil dan tak ngos-ngosan.
Aksi Joey sederhana saja: datang, adang, menang. Pria 31 tahun ini tak menonjol seperti Haye, tetapi ada saat diperlukan. Merusak irama permainan lawan. Joey mainnya asoi.
Pada saat yang sama atraksi Rizky Ridho bersama Idzes, dan Justin Hubner yahud. Trio lini belakang ini seperti sudah satu intuisi; saling menutupi; saling melengkapi.
Utamanya Ridho, yang kembali starter setelah sebelumnya jadi pengganti saat melawan Australia, tampil garang bak macan: mencabik semua yang datang menantang.
Analisis Timnas Indonesia berlanjut ke halaman kedua >>>
Selepas laga, saat jumpa pers, Patrick Kluivert mengaku mulai mengenal skuad Timnas Indonesia. Mungkin, karena ini ada perubahan strategi.
Ketika tandang ke markas Socceroos, Kluivert memakai formasi empat bek. Komposisinya, Kevin Diks di kanan, Mees Hilgers dan Jay Idzes di tengah, dan Calvin Verdonk di kiri.
Hasilnya kalah telak 1-5. Saat menjamu Bahrain, Kluivert memakai 'setelan pabrik' tiga bek dengan komposisi: Rizky Ridho, Idzes, dan Justin Hubner.
Trio ini tampil solid. Nyaris tak ada kesalahan antisipasi dan komunikasi. Diks yang dikembalikan ke kanan juga atraktif. Sisi kanan jadi andalan serangan.
Keputusan Kluivert memakai tiga bek sejak menit pertama jelas sebuah kemajuan. Sebelumnya, banyak analisis menyebut pria Belanda ini tak akan pakai formasi tiga bek.
Dengan tiga bek, Indonesia kalah penguasaan bola atau ball possession. Ini kontras dengan laga melawan Australia, menang permainan namun kalah secara hasil.
Mungkin ini yang dinamakan pragmatis. Pelatih bisa disebut cerdik jika memainkan strategi yang sesuai dengan kekuatan tim, bukan sekadar ideologi atau falsafah.
Ini bukan hanya soal main indah. Solid bertahan juga seni. Seperti tinju, yang menang adalah, hit don't be hit atau pukul jangan terpukul. Cetak gol, jangan kebobolan.
Pengakuan Kluivert sama mulai mengenal pemain juga terlihat dari keputusannya memainkan Ricky Kambuaya dan Ramadhan Sananta. Kendati main singkat, ini dobrakan.
Dengan identifikasi yang tepat, kecermatan mengenal individu pemain, bukan tidak mungkin Juni nanti, saat melawan China dan Jepang, akan ada kejutan lagi.
Bak prinsip Nahdlatul Ulama, 'al-muhafadhotu ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah', Kluivert kiranya tak anti hal-hal lawas dan terus berevolusi dengan substansi.
[Gambas:Video CNN]