Timnas Indonesia U-17 belum pernah bentrok dengan Korea Utara U-17 di pentas Piala Asia U-17. Duel pada edisi 2025 ini adalah yang perdana dalam sejarah kedua negara.
Indonesia U-17 yang diasuh Nova Arianto memang lebih diunggulkan, tetapi tetap diragukan. Sebab utamanya, Indonesia tak punya sejarah besar dalam pentas ini.
Sebaliknya Korea Utara sudah dua kali angkat piala, yakni pada edisi 2010 dan 2014. Tim berjulukan Samba of East Asia ini juga pernah dua kali jadi runner up turnamen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu kecerdikan Nova akan diuji. Kejalian strategi mantan asisten Shin Tae Yong di Timnas Indonesia ini dites oleh permainan spartan negeri komunis tersebut.
Dalam tiga pertandingan babak Grup C, strategi yang diterapkan Nova berjalan dengan baik. Kombinasi pragmatisme dan progresif tergambar dalam sentuhan Nova.
Saat melawan Korea Selatan, Nova merekonstruksi Putu Panji dan kawan-kawan menerapkan sepak bola catenaccio Italia. Ya, Indonesia U-17 bermain gaya bertahan grendel.
Berikutnya, ketika menghadapi Yaman, bermain lebih berani. Kali ini tak lagi se-pragmatis Gli Azzurri, tetapi lebih terbuka seperti gaya main Inggris yang kick and rush.
Begitu menghadapi Afghanistan dengan status sudah pasti lolos ke fase gugur, rotasi dilakukan Nova. Pola permainan yang dibuat juga makin berani. Sangat ofensif.
Lantas, pendekatan seperti apa yang akan dipakai Nova saat melawan Korea Utara? Putra mantan pelatih Timnas Indonesia B, Sartono Anwar, ini mungkin akan kembali pragmatis.
Sepak bola pragmatis memang cukup identik dengan Nova. Kelolosan Indonesia U-17 dalam Kualifikasi Piala Asia U-17 bisa menjadi tolok ukur ideologi Nova.
Dan, pragmatisme memang sebuah pilihan logis dan realistis untuk sepak bola Indonesia saat ini. Namun, pragmatis saja tentu tidak cukup. Dibutuhkan perjuangan keras.
Perjuangan keras itulah yang diharapkan dibuat anak-anak Timnas Indonesia U-17. Dengan daya juang hebat, warisan besar lolos ke semifinal niscaya tercipta.