Dekade 90-an adalah lembaran tak terlupakan di dunia sepak bola: Maradona pensiun, Zidane bawa Prancis juara Piala Dunia 1998, hingga treble 'gila' Manchester United pada 1999.
Pada 1990-an pula, sepak bola adalah primadona layar kaca terutama Liga Italia. Sepak bola negeri Pizza disebut ada dalam periode keemasannya karena menghadirkan sajian liga yang begitu kompetitif dan bintang lapangan yang terbilang merata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Juventus punya Zinedine Zidane, AC Milan dengan George Weah, Inter lewat Ronaldo Nazario, Fiorentina dan Gabriel Batistuta-nya, lalu Hernan Crespo bersama Parma, kemudian ada Francesco Totti sang Pangeran Roma.
Namun selama dekade 90-an itu pula, sepak bola bukan hanya milik Serie A. Jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, negara-negara lain punya andil besar dalam mempopulerkan si kulit bundar.
Ambil contoh pemenang Ballon d'Or medio 1990 hingga 1999. Mereka yang dinobatkan sebagai pemain terbaik di dunia selalu berganti. Tidak ada satupun peraih gelar individu itu secara beruntun. Asal negaranya juga tak pernah sama.
Siapa sangka George Weah yang mendapatkan Ballon d'Or 1995 menjadi pemain Afrika pertama dan hingga kini masih jadi satu-satunya punya gelar demikian.
Tak bisa dipungkiri, Ronaldo dan Messi mungkin saja akan terhalang sinarnya oleh bintang yang bertebaran di penjuru Eropa.
Contohnya, Messi awalnya berposisi sebagai sayap kiri dan gelandang serang di akademi La Masia. Saat promosi ke tim utama, tempat itu sudah diisi oleh Ronaldinho yang kerap dimainkan demikian oleh Frank Rijkaard.
![]() |
Praktis Messi bergeser jadi sayap kanan dengan harapan mengandalkan kelincahan dalam menusuk ke tengah. Atau jika seandainya Messi sudah eksis sejak 90-an, posisi sayap kiri sudah ditempati oleh Hristo Stoichkov. Di gelandang serang juga telah diisi oleh Michael Laudrup.
Begitu juga dengan Ronaldo. Andai kata Ronaldo sudah muncul di era 90-an bersama Manchester United, mungkin dia akan kalah saing dengan pemain sayap lainnya.
Ronaldo yang datang ke Old Trafford sebagai sayap kanan, akan tersisih oleh dua pemain sekaligus, yakni Andrey Kanchelskis atau David Beckham. Sementara di sisi kiri ada Ryan Giggs yang piawai meliuk-liuk.
Bukan tak mungkin pula, Ronaldo akan sama-sama tersingkir jika dialihkan ke posisi lain. Begitu juga Messi jika sudah tampil sejak 90-an.
Namun Ronaldo dan Messi hadir di zaman yang tepat. Saat mereka muncul ke permukaan, sorot lampu tak pernah meleset. Selama 10 edisi Ballon d'Or sejak 2008 hingga 2017, Ronaldo dan Messi bergantian mendapatkan trofi bola emas tersebut.
Ada dua pendapat besar menyikapi fenomena Ronaldo vs Messi dalam sepak bola modern. Tak sedikit yang menyebut mereka membuat pertunjukan menjadi monoton, tapi banyak pula yang menganggap Ronaldo dan Messi adalah pemain terbaik pada masanya.
(jun/har)