Melawan tim-tim Asia Barat, negara-negara Timur Tengah, Timnas Indonesia harus siap dengan gangguan non teknis. Begitu narasi yang selalu dan hingga kini masih dibangun.
Dalam hal ini kepemimpinan wasit jadi sorotan nomor satu. Elite AFC yang juga didominasi wakil Timur Tengah seolah menegaskan bahwa potensi 'intervensi' itu benar adanya.
Memandang sepak bola modern memang tidak bisa polos-polos saja. Hanya saja, psychological warfare (psywar) semacam ini sengaja dibangun lawan untuk melemahkan mentalitas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau sedari awal Timnas Indonesia, dalam hal ini orang-orang di PSSI dan tim kepelatihan, meyakini 'permainan' tuan rumah, sikap tempurnya akan berbeda. Bahkan anjlok.
Ada semacam kekhawatiran bahwa Timnas akan kalah karena tampil di negara Timur Tengah. Rasanya hal semacam ini tak perlu diglorifikasi oleh PSSI. Apalagi staf pelatih. Haram!
Siapapun nantinya yang akan dilawan Indonesia pada fase keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026, mau Qatar, Uni Emirat Arab, atau Irak, bukan soal. Paradigma sepak bola Indonesia sudah berubah.
Arab Saudi dan Bahrain sudah berhasil ditumbangkan di kandang dan ditahan imbang saat tandang. Ini sinyal kuat. Ini propaganda Indonesia sesungguhnya. Garuda tak bermental tempe.
Kendati, harus diakui pula, Indonesia masih jago kandang. Kemenangan atas Saudi dan Bahrain tercipta di Jakarta. Australia juga hanya bisa ditahan imbang saat main di kandang.
Saat tandang, malah dibantai. Sama halnya dengan fakta tim Merah Putih bak ayam sayur dan bukan burung pemangsa saat menghadapi Jepang dalam laga pemungkas. Tapi, cukup.
Ada waktu empat bulan bagi Patrick Kluivert untuk menonton, sampai berulang-ulang, semua pertandingan calon lawan yang akan dihadapi. Kekuatan lawan dikuliti habis.
Sebab hanya ini yang bisa dilakukan Kluivert sambil menunggu jeda internasional berikutnya pada September. Buku putih sepak bola Kluivert tentu juga harus matang.
Tak ada lagi coba-coba. Tak ada lagi mencari-cari. Masa perkenalan atau transisi sudah selesai. Kini saatnya bagi Kluivert membuktikan bahwa ia bukan sekedar boneka di Timnas Indonesia.
'Perang' yang sesungguhnya akan pecah pada Oktober nanti, karena itu, ini saatnya bagi Kluivert membangun propaganda dan psywar untuk mentalitas jaya Timnas Indonesia.