Membangun chemistry antarpemain bisa dilakukan lewat banyak cara. Tidak melulu lewat pertandingan melawan tim lain. Uji coba hanya sarana evaluasi performa atas latihan.
Latihan adalah sarana utama menjalin chemistry. Kolektivitas permainan coba dibangun dalam interaksi yang intens di dalam latihan tim. Dalam latihan ini juga ada uji coba internal.
Pemain dipisahkan dalam dua kelompok dan ditandingkan. Ada kalanya pemain tampil di kelompok A dan ada kalanya di kelompok B. Dari sini coba dibangun satu tim yang mumpuni.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soal chemistry ini sepertinya bukan perkara yang terlalu sulit. Sebagain besar pemain Indonesia U-23 sudah pernah bermain di kelompok usia sebelumnya, U-17 dan U-20.
Pemain seperti Cahya Supriyadi, Muhammad Ferarri, Dony Tri Pamungkas, Kakang Rudianto, Ananda Raehan, Tony Firmansyah, hingga Hokky Caraka sudah sering main bersama.
Persoalannya tinggal bagaimana pemain menjalani filosofi sepak bola yang diterapkan Vanenburg. Pria asal Belanda ini punya nama besar sebagai pemain dan ingin menurunkan ilmunya.
Vanenburg adalah mantan pemain timnas Belanda saat juara Piala Eropa 1988. Ia juga meraih gelar juara Liga Champions Eropa 1987/1988 bersama Ajax Amsterdam.
Pengalaman tampil dalam kompetisi level nomor satu dunia ini membuatnya percaya diri. Ia yakin ilmu sepak bolanya akan sangat membantu generasi muda Indonesia untuk berkembang.
Seperti apakah gaya main yang dipakai Vanenburg? Layaknya pelatih modern Belanda, Vanenburg mengusung sepak bola menyerang. Mendominasi permainan jadi salah satu kunci.
Bagaimanapun genetika (DNA) total football tak pernah ditinggalkan pelatih-pelatih asal Negeri Kincir Angin tersebut. Hanya pendekatannya saja yang makin modern dan dimodifikasi.
Biasanya filosofi begini akan diuji dalam laga uji coba. Namun Timnas Indonesia U-23 tak bisa menggelarnya. Percaya dirikah Vanenburg gaya sepak bolanya bisa dijalankan? Mari kita nantikan.
(nva)