Ketajaman naluri atau kecerdikan Gerald Vanenburg terkuak di babak semifinal Piala AFF U-23 2025. Dalam kondisi kritis, ide pria 61 tahun ini jitu.
Timnas Indonesia U-23 yang tertinggal 0-1 dan kepayahan menembus pertahanan Thailand, karena lawan main menunggu dengan menumpuk pemain di teritorial sendiri, akhirnya bisa dijebol.
Itu berawal dari perjudian Vanenburg memasukkan Muhammad Ferarri yang seorang bek tengah menjadi striker. Padahal, skema ini tak pernah diasah dalam latihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masuknya Ferarri, yang dikenal punya 'gol hapalan' situasi sepak pojok, memberi ruang bebas pada Jens Raven. Raven pun mencuri gol lewat sundulan dengan muncul dari belakang.
Ya, Raven tidak ikut bergumul di depan gawang Thailand. Ia berdiri agak menjauh. Hanya satu pemain Thailand yang mengawalnya. Ketika bola sepak pojok datang, tandukannya mulus.
Setelah itu, Ferarri diminta mundur. Direposisi jadi gelandang bertahan, bersama Brandon Scheunemann dan Robi Darwis. Vanenburg membangun tembok di tengah. Ide ini sukses.
Saat adu penalti, Hokky Caraka, yang jadi sorotan karena performa jelek, plus membuat gaduh di media sosial di tengah turnamen, tetap dipercaya menjadi algojo penalti.
Hokky jadi algojo penalti kelima Indonesia. Ia penentu di titik kritis. Penendang terakhir. Jika Hokky gagal, Indonesia kalah. Namun Hokky sukses menjalankan amanah dengan dingin.
Melihat performa Hokky, yang sering hilang bola, salah umpan, tubuh tak atletis (seperti kegemukan), juga malas berlari mengejar bola, wajar rasanya jika Hokky tak ditunjuk jadi algojo penalti.
Namun, naluri Vanenburg berkata lain. Hokky, yang kalau gagal penalti bakalan diserbu warganet dengan cacian dan hinaan, bisa bersikap tenang. Emosinya tampak stabil di mulut gawang.
Ini fragmen kecil dari laga semifinal. Vanenburg tampak bisa merangkai detail-detail kecil dengan baik. Jika ini berlanjut, rasanya pesta juara di GBK seperti 58 tahun lalu, bisa diraih.
(abs/jun)