Gerald Vanenburg menerapkan pola 4-3-1-2 lawan Laos dengan proyeksi Jens Raven dan Rafael Struick bisa mengacak-acak lini pertahanan lawan. Strategi ini justru menemui kebuntuan.
Pola yang diterapkan Vanenburg sebenarnya tak ajeg lantaran Struick lebih sering minggir ke sisi kiri dan sayap kanan kerap ditempati Rayhan Hannan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sektor flank juga ditopang oleh Kakang Rudianto dan Dony Tri Pamungkas yang kerap melancarkan tusukan. Terutama di sisi kiri oleh Dony Tri lantaran Kakang cenderung bermain lebih dalam.
Pola dinamis yang diterapkan setidaknya menghasilkan 15 peluang yang semestinya berbuah gol. Namun tak jarang umpan kurang matang, pergerakan tanpa bola para pemain sering tidak tepat waktu, hingga penyelesaian yang tak klinis membuat tak ada gol tercipta.
Mengingat kualitas Laos tak lebih baik dari Indonesia di atas kertas, hasil 0-0 membuktikan ada yang kurang dari racikan strategi Vanenburg.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah maksimalisasi bola mati. Sebab tak jarang Indonesia mendapat situasi demikian terutama di sepak pojok. Tapi tak ada satupun peluang berbahaya dari tendangan corner.
Indonesia sudah berupaya memaksimalkan bola mati dalam skema lemparan ke dalam. Namun lawan seakan sudah punya antisipasi terhadap teknik hapalan dari Timnas Indonesia.
Lemparan jauh bukan hal terlarang, namun pemain perlu lebih piawai memanfaatkan keadaan. Berkali-kali bola lemparan Robi Darwis sebagai eksekutor utama mengarah ke wilayah sepertiga akhir tapi tak juga menemui sasaran.
Situasi bola mati bisa jadi kekuatan Timnas Indonesia U-23 karena sejak menang besar atas Brunei di Piala AFF U-23 2025, tidak ada gol skema terbuka yang ditorehkan.
Tersirat anomali ketika Indonesia juga kesulitan menjebol gawang lawan lewat skema bola mati. Lantas apa kekuatan utamanya kali ini?
Vanenburg perlu mencari cara dalam variasi serangan terutama jika menghadapi tim defensif. Juru taktik asal Belanda itu perlu membawa Timnas Indonesia U-23 habis-habisan di sisa laga yang ada.
(har)