Saat bahan bakunya berkualitas, rasanya hanya tinggal bagaimana sang koki meracik menu yang akan dihidangkan. Tinggal bagaimana Patrick Kluivert meramu Timnas Indonesia.
Mengacu dua pertandingan uji coba periode September, Kluivert memakai satu gelandang bertahan, dua bek sayap, dan dua bek tengah. Formasi yang disiapkan 4-2-3-1 dan 4-5-1.
Ini, kasarnya, kontra-revolusi dari Kluivert. Sistem pertahanan tiga bek yang dibangun Shin Tae Yong, pelatih sebelumnya, dirombak. Kluivert ingin Indonesia tampil lebih agresif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mungkin, Kluivert menyadari, memakai tiga bek sekalipun tidak akan berguna jika lawan cerdik seperti Jepang. Bukan formasi yang jadi penentu, tetapi sistem yang dibangun.
Saat tandang melawan Australia, dalam debutnya bersama Timnas Indonesia, Kluivert awalnya memakai formasi dua bek, tetapi kemudian diubah menjadi tiga bek pada babak kedua.
Tetap saja gawang Indonesia kebobolan. Setelah kebobolan tiga kali di babak pertama, dua gol lainnya bersarang ke gawang yang dikawal Maarten Paes pada babak kedua.
Ini mungkin semacam tesis dari Kluivert bahwa formasi tiga bek yang dibangun Shin Tae Yong tak ampuh dalam arahannya. Karena itu Kluivert butuh formula jitu sendiri.
Formula itu sudah coba dimatangkan saat melawan Taiwan dan Lebanon. Ketika itu Ridho berduet dengan Amat, sedangkan pada laga kedua Idzes berduet dengan Diks.
Untuk melawan Arab Saudi pada 8 Oktober, ada potensi Idzes berduet dengan Ridho. Namun, jika kebutuhan Kluivert adalah bek tinggi, Diks yang akan menjadi pilihan.
Mengapa Diks, bukan Hubner atau Amat? Hubner temperamental dan sangat mudah dipancing pemain Arab, sedangkan Amat secara usia tidak lagi di masa keemasan.
Apapun nantinya pilihan strategi Kluivert saat melawan Arab Saudi, semoga itu jadi tembok pertahanan yang kukuh, layaknya Benteng Konstantinopel yang tak bisa ditembus bangsa Arab.
(nva)