Status tuan rumah memberi keuntungan tersendiri bagi Thailand, namun fakta peringkat tetap menjadi cermin yang jujur tentang posisi Indonesia saat ini, karena dalam beberapa edisi terakhir juga Merah Putih di bawah Negeri Gajah Putih.
Catatan ini bukan untuk mengecilkan prestasi, namun sebagai pengingat arah.
Di sejumlah cabang olahraga terukur seperti renang dan atletik, tantangan Indonesia masih cukup besar. Di level Asia Tenggara, Indonesia mampu bersaing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun untuk melangkah lebih jauh ke level Asia dan dunia, konsistensi performa dan peningkatan standar masih menjadi pekerjaan yang harus dilakukan secara berkelanjutan.
SEA Games, pada titik ini, idealnya tidak lagi dipandang sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai ruang evaluasi.
Pencapaian tinggi di kawasan akan bermakna lebih jika berbanding lurus dengan kesiapan menghadapi level kompetisi yang lebih tinggi. Di sinilah kesinambungan pembinaan menjadi kunci.
Dukungan pemerintah dan pemangku kepentingan olahraga nasional telah memberikan dampak positif, namun ke depan tantangannya adalah menjaga ritme.
Pusat-pusat latihan yang memadai, kalender kompetisi internasional yang lebih padat, serta pemanfaatan fasilitas olahraga secara berkelanjutan akan sangat menentukan arah prestasi berikutnya.
Menteri Pemuda dan Olahraga Erick Thohir menyatakan cabang olahraga yang gagal memenuhi target emas akan masuk daftar penilaian, dengan sistem promosi dan degradasi berbasis capaian yang terukur.
Timnas Futsal Indonesia mengalahkan Thailand dan berhasil merebut medali emas SEA Games 2025. (Dok. Hector Souto) |
Hal ini patut diapresiasi sebagai upaya memperkuat akuntabilitas pembinaan.
Meski demikian, evaluasi prestasi idealnya dibaca secara lebih utuh. Olahraga tidak selalu berjalan linear dengan angka medali. Ada faktor non-teknis yang kerap memengaruhi hasil, mulai dari kendala peralatan, kesiapan atlet, hingga dinamika pertandingan yang sulit diprediksi.
Terlebih, dalam Desain Besar Olahraga Nasional (DBON), SEA Games sejatinya diposisikan sebagai sasaran antara, bukan tujuan utama.
Tak mengherankan bila sejumlah cabang memilih menurunkan atlet muda sebagai bagian dari proses regenerasi.
Dalam konteks ini, kegagalan memenuhi target emas tidak selalu identik dengan kemunduran karena bisa menjadi bagian dari investasi jangka panjang menuju level yang lebih tinggi.
Namun, dinamika di lapangan juga menunjukkan bahwa gengsi SEA Games belum sepenuhnya bisa dilepaskan.
Pada bulu tangkis, misalnya, terjadi perubahan komposisi tim dengan memasukkan pemain yang lebih siap secara pengalaman untuk menggantikan atlet muda, itu juga atas dasar evaluasi bersama Kemenpora.
Keputusan itu terbukti efektif secara hasil. Indonesia menjuarai nomor beregu putra dan ganda putra.
Hasil tersebut sah untuk diapresiasi. Namun, memunculkan pertanyaan reflektif. Sejauh mana SEA Games dimanfaatkan sebagai ajang pembinaan, dan sejauh mana masih diperlakukan sebagai panggung pencapaian jangka pendek.
Pertanyaan ini bukan untuk menyalahkan keputusan teknis federasi, melainkan untuk mengingatkan ukuran keberhasilan seharusnya tidak berhenti pada tabel medali.
Jika sistem evaluasi hendak diterapkan, maka parameternya perlu mencakup konteks yang lebih luas mulai regenerasi, kesinambungan pembinaan, serta relevansinya dengan target Asian Games dan Olimpiade.
Dengan hal tersebut, evaluasi menjadi alat pembelajaran, bukan sekadar seleksi berbasis angka.
SEA Games 2025 memberi pesan yang cukup jelas. Indonesia sedang berada di jalur yang tepat, dengan fondasi yang makin luas dan generasi baru yang menjanjikan.
Prestasi sebagai runner up layak dirayakan, namun juga mesti dijadikan pijakan untuk melangkah lebih mantap.
(jun/antara/rhr)