Jakarta, CNN Indonesia -- Instruksi Presiden Joko Widodo untuk mendukung layanan transportasi daring tak mendapat sambutan hangat dari semua pihak. Alih-alih mendukung transportasi daring, pemerintah dinilai cukup pandai memperbaiki sistem transportasi publik yang sudah ada.
Djoko Setijowarno, Kepala Lab Transportasi UNIKA Soegijapranoto Semarang, mengkritik keputusan Istana tersebut. Ia menilai keputusan presiden tergolong pragmatis.
Menurut Djoko, kehadiran transportasi daring tidak banyak mengubah kondisi ekonomi riil Indoneia. Baginya manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat menengah ke bawah tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh pemodalnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Akhirnya malah semakin membuat ketimpangan ekonomi pemilik modal yang justru akan semakin kaya," kata Djoko melalui pesan singkat kepada
CNNIndonesia.com pada Rabu (19/07).
Dalam standar pelayanan minimal yang terdiri dari enam aspek, Djoko menilai transportasi daring tidak memenuhi beberapa di antaranya. Adapun keenam aspek tersebut adalah keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan.
Dari keenam aspek itu, ia paling menyoroti aspek keselamatan. Transportasi daring ia sebut belum punya sistem yang menjamin keselamatan penumpang dengan baik.
Djoko pun mengkritik tarif murah transportasi daring. Menurutnya tarif murah Gojek, Grab, dan Uber, tak akan bertahan lama. Ia memuji penggunaan sistem daring, namun kehadiran perusahaan teknologi di transportasi daring menurutnya tak perlu.
"Sebaiknya taksi resmi memanfaatkan sistem tersebut, bukan pemerintah membiarkan taksi daring jadi operator," ujarnya.
Pernyataan Djoko bertentangan dengan sikap pemerintah dalam menangani kehadiran transportasi daring di dalam negeri. Presiden Jokowi bisa dikatakan menjamin kehadiran transportasi daring di Indonesia karena dirasa diperlukan.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pun berkali-kali menyebut rencana untuk membangun ekosistem digital ekonomi dengan entitas teknologi semacam Gojek menjadi salah satu prioritas pemerintah. Keinginan pemerintah memberi insentif di sektor tersebut menguatkan posisi pemerintah dalam menyikapi transportasi daring.
Penelitian oleh Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia pada awal Mei lalu menemukan bahwa 77 persen pengemudi Go-Ride yang bekerja paruh waktu mengantongi pendapatan bulanan di atas upah minimal nasional sebesar Rp1.997.817. Hasil ini lebih besar dikantongi pengemudi Go-Car di mana 50 persen pengemudinya mendapatkan penghasilan di atas rata-rata UMP DKI Jakarta yakni Rp3.335.750.
"Dari sisi manfaat, 48 persen mengaku bisa mengatur waktu kerja, 30 persen punya lebih banyak waktu bersama keluarga, 28 persen bisa menabung, 19 persen bisa pakai HP dan aplikasi," ungkap Alfindra disela pemaparannya di Jakarta, Senin (8/5).
Riset yang dilakukan oleh Puskakom dan Gojek dilakukan sejak 6-11 April 2017 mencatat dalam tiga bulan terakhir ada 4.048 pengguna aktif. Studi yang menggunakan teknik pure random sampling melibatkan 3.213 responden pengguna Go-ride dan 2.801 responden pengguna Gocar.
Namun Djoko tak setuju dengan temuan itu. Ia curiga riset tersebut belum menghitung biaya pemeliharaan, biaya sewa kendaraan, atau cicilan kendaraan.
Sebagai gantinya, ia meminta pemerintah memperbaiki transportasi umum seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Ia merujuk pada revitalisasi transportasi kereta api oleh PT KAI.
(evn)