Jakarta, CNN Indonesia -- Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), menilai bahwa sudah sewajarnya pemerintah terlebih dahulu merampungkan pekerjaan rumah sebelum menyusun rencana menjadikan Indonesia sebagai basis pengembangan mobil listrik.
Melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan tidak ingin dalam negeri hanya menjadi sasaran pasar, oleh setiap produsen daru negara lain.
Ketua I Gaikindo Jongkie D Sugiarto, mengatakan utamanya pemerintah wajib memperhatikan ketersediaan sarana dan prasarana akan kendaraan listrik. Ia merasa, hingga kini belum ada ketersediaan yang dapat menunjang kelangsungan mobil listrik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bisa saja, tetapi untuk sarana dan prasarana untuk pasar dalam negeri masih memerlukan persiapan," kata Jongkie di Jakarta.
Sarana dan prasarana untuk keperluan mobil listrik, ia berujar, utamanya kepada lokasi pengisian listrik guna memudahkan pengemudi saat kehabisan energi dalam perjalanan. Pengisian listrik pada kendaraan tidak dapat hanya diandalkan saat sedang di rumah.
"Nanti kalau saya ke mall, terus sudah mau habis colok di mana? Itu yang harus dipikirkan dan merupakan persiapan untuk pasar dalam negeri," ungkap dia.
Sejak dini, menurutnya, pemerintah wajib memikirkan hal demikian. Lokasi pengisian sedianya dapat di tempatkan pada kantong parkir, atau jika bisa satu lokasi dengan pengisian bahan bakar.
"Kalau di rumah tidak masalah di garasi isi listrik langsung penuh, pas keliling mau habis masa harus balik ke rumah lagi. Tempat parkir atau pompa bensin ya harus bisa ngecas ya. Penting sarana dan prasarana harus bisa dikembangkan," ungkapnya.
Pajak TinggiSelain infrastruktur, ia megungkapkan, dalam penerapan pajak kendaraan yang kini berkategori mewah namun ramah lingkungan itu di Indonesia terbilang masih selangit. Angka pajak, dapat menjadikan harga kendaraan naik dua kali lipat.
Bagi dia, saat ini pihaknya masih terus berupaya menggodok kajian hingga hasil dapat secepatnya diserahkan kepada pemerintah. Apalagi, mobil listrik sendiri termasuk ke dalam program low carbon emision vehicle (LCEV).
"Yang saya katakan, di satu sisi pajak saja bisa diberikan keringanan karena bebas polusi dan tidak ber-bbm, sudah sepantasnya diberikan keringanan pajak," kata dia.
Beberapa produsen kendaraan mewah di dalam negeri tidak jarang mengeluh dengan kebijakan yang diberikan pemerintah terkait Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Salah satunya yakni importir mobil premium, yakni Prestige Image Motorcar.
Mereka membawa keluaran terbaru dari Tesla di Indonesia, Model X 75D dengan bandrol mulai dari Rp2,6 miliyar. Bagi Presiden Direktur Prestige Image Rudy Salim, mobil tersebut melonjak harganya setelah terkena pajak yang ditetapkan pemerintah.
Ada beberapa jenis pajak yang dibebankan oleh pemerintah, yang ditengarai Rudy sebagai penyebab harga mobilnya menjadi dua kali lipat ketimbang negara lain.
"Kalau di Indonesia kurang lebih angkanya, PPnBM 75 persen, PIB 30 persen, PPN 10 persen, PPH 7,5 persen, itu semua kena sudah buat harga dua kali lipat," kata Rudy di Jakarta.
Belum lagi, terdapat beban biaya untuk showroom, pendapatan yang dikenakan sekian persen dan sebagainya.
Kata dia, di negara lain mobil seperti Tesla tidak terlalu dibebani banyak pajak. Mengingat, statusnya tidak hanya premium, tetapi juga hemat dan ramah lingkungan. Untuk Jepang, Model X hanya dikenai delapan persen pajak dari harga kendaraan. "Nah kalau itu bisa masuk akal," ujarnya.
Jika lebih diperhatikan dari sektor pajak, menurut dia, bukan tidak mungkin keluaran terbaru Tesla dapat dibandrol setengah dari harga saat ini.
"Sebenarnya respon dari sisi peminat banyak, tapi ketika harganya tinggi nah tidak berani beli, balik lagi ke situ. Tapi kalau animo dan respon ditunggu ya banyak sekali," ujarnya menambahkan.
Utamakan Pasar Dalam NegeriJongkie melanjutkan, bukan tidak mungkin Indonesia dapat menjadi satu dari di antara negara lain yang dapat melakukan produkai mobil listrik. Tetapi, berbeda soal bila keinginan mengarah kepada pasar kendaraan tersebut.
"Kalau produksi siapa saja bisa. Cuma kalau mau dipasarkan, habis baterai gimana? Kantong parkir gimana?" ujar Jongkie.
Lebih jauh, meski banyak negara yang sudah siap dalam menyambut kendaraan listrik. Indonesia bisa saja menjadi basis kendaraan listrik untuk pasar ekspor, namun tiap pabrikan akan lebih dulu melihat pasar mobil listrik di Indonesia sebelum akhirnya memutuskan membenamkan investasi.
Kata dia, lagipula tidak sedikit produsen otomotif berniat berinvestasi, mengingat harga tenaga kerja masih terbilang rendah ketimbang negara lain.
"Kalau ekspor, ya bagus-bagus aja. Tapi biasanya, orang kalau mau investasi sesuatu di Indonesia yang dilirik pertama pasar dalam negeri, setelah itu ekspornya," kata dia.
Wacana Empat Tahun LaluSejauh ini ia menambahkan, bahwa pihaknya tidak ikut campur dalam urusan pengembangan mobil listrik pemerintah bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Tetapi seperti yang sudah-sudah, kendaraan hasil racikan pemerintah hanya bersifat sementara, berhenti atau hilang menguap bersama ambisi lain, dan mengalir bersama isu lainnya.
Untuk mobil listrik, dalam situs BPPT, sebetulnya wacananya sudah terdengar sejak 2013, empat tahun lalu. Bahkan, pemerintah menargetkan produksi masal mobil listrik sebanyak 10 ribu unit satu tahun berselang, atau pada 2014. Pengembangannya sendiri sudah dilakukan berbagai pihak.
Tetapi, tidak selamanya pengembangan mobil listrik dianggap menjadi alternatif terbaik. Mengingat hingga saat ini kesulitan yang dihadapi dalam adalah ketergantungan daya tahan baterai.
"Teknologi baterai menjadi kunci dalam mobil listrik. Harus yang kapasitasnya besar supaya jalannya bisa jauh. Yang di Indonesia maksimum baru 150 kilometer saja. Kalau tidak ada tempat untuk mengisi baterai, nanti mobilnya mati di pinggir jalan. Karena itu dibutuhkan teknologi yang bisa menghasilkan baterai dengan kapasitas besar tetapi berukuran kecil dan ringan," kata Kepala BPPT Marzan A Iskandar.
Mobil dengan teknologi pantograph, ia menerangkan, bisa menjadi solusi karena pengembangan mobil listrik di Indonesia masih tidak efektif karena ukuran dan kapasitas baterai.
BPPT mengklaim, mobil pantograph dapat dikembangkan lebih baik karena dengan penguasaan sistem tersebut. Mobil ini nantinya menggunakan kawat listrik pada bagian atap mobil seperti trem, tetapi tidak menggunakan rel.
Sedangkan, terkait roadmap produksi massal mobil listrik pada 2018, dia mengatakan pihaknya akan bekerja keras untuk merealisasikan target tersebut.
(pit)