Bahan bakar solar sempat langka di Indonesia. (Dok. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani)
Jakarta, CNN Indonesia -- Strategi pemerintah menghemat devisa untuk menanggapi penguatan dollar Amerika Serikat salah satunya sampai ingin mengubah Peraturan Presiden No. 61/2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang mengatur pemakaian bahan bakar Biodiesel 20 (B20) menggunakan minyak kelapa sawit.
Sebelum direvisi B20 hanya wajib digunakan untuk kendaraan yang mendapatkan subsidi atau Public Service Obligation (PSO). Beleid tersebut bakal diganti hingga B20 wajib digunakan untuk PSO dan non-PSO yang artinya melibatkan kendaraan bermesin diesel milik pribadi.
Implementasi B20 untuk kendaraan pribadi dianggap bisa meningkatkan permintaan domestik minyak kelapa sawit dan mengurangi impor bahan bakar. Ujung-ujungnya diharapkan harga minyak kelapa sawit bisa membaik dan meninggikan nilai ekspor dari Indonesia.
Penjelasan B20 Biodiesel adalah bahan bakar yang dibuat menggunakan bahan-bahan dari makhluk hidup. Selain sawit, biodiesel juga bisa dibuat menggunakan kelapa atau lemak hewan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam istilah perdagangan, biodiesel yang dicampur solar dinyatakan dalam notasi B-XX. Jadi misalnya B-10 berarti menunjukan bahan bakar tersebut memiliki campuran 10 persen biodiesel dan 90 persen solar.
Sedangkan B20 yang pemakaiannya ingin diperluas oleh pemerintah berarti bahan bakar dengan campuran 20 persen biodiesel sawit dan 80 persen solar.
B20 Vs Solar Menurut Bambang Sudarmanta, Kepala Laboratorium Motor Bakar dan Sistem Pembakaran Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), B20 merupakan bahan bakar pengganti yang kandungannya sudah mendekati solar.Meski begitu, B20 punya dampak lain pada mesin kendaraan diesel ketimbang solar yang nantinya akan dirasakan konsumen.
Bambang menjelaskan B20 memiliki nilai kalor lebih rendah, sekitar 8-10 persen, dibanding solar. Berdasarkan itu dikatakan daya yang dihasilkan mesin diesel menggunakan B20 bisa turun 8-10 persen dibanding solar.
"Dari sisi kalor begitu, tetapi tidak mutlak daya dihasilan dari kalor saja. Biodiesel punya kelebihan oksigen di dalamnya, itu bisa menghasilkan proses oksidasi yang lebih baik dibanding solar," jelas Bambang.
Oksidasi yang lebih baik, lanjut Bambang, memungkinkan penggunaan B20 membuat proses pembakaran mesin menjadi lebih baik. Hasilnya bisa membuat daya mesin lebih besar.
Bambang juga mengurai dampak lain penggunaan B20, yaitu membuat ruang pembakaran lebih kotor dibanding solar.Disebutkan, B20 dikatakan memiliki viskositas (kekentalan) lebih tinggi atau lebih kental dibanding solar yang cenderung memperlambat atomisasi (proses pembakaran pada mesin). Selain itu, B20 juga dikatakan mengandung gliserin (kotoran yang tidak terbakar) lebih banyak.
"Di dalam Standar Nasional Indonesia biodiesel (SNI 7182:2015) sudah disebutkan batasannya (viskositas dan gliserin). Artinya sudah diteliti bahwa dengan kandungan itu dampak yang terjadi masih bisa diterima atau membahayakan," ujar Bambang.
Efek buat Konsumen Salah satu produsen mobil niaga yang menjual produk bermesin diesel di Indonesia, Isuzu, menjelaskan, penggunaan B20 memungkinkan untuk menggantikan solar ataupun B10. Walau begitu, ada beban yang harus ditanggung konsumen.
Tonton Eko, GM Product Development Isuzu Astra Motor Indonesia (IAMI) mengatakan, sifat B20 yang lebih kental dan kotor dibanding solar seperti dijelaskan peneliti ITS memengaruhi masa pakai komponen saringan bahan bakar. Lebih jauh dampak serupa bisa terjadi pada injektor alias penyemprot bahan bakar di mesin.
Pada umumnya, penggantian saringan bahan bakar kendaraan diesel Isuzu dilakukan setiap 5.000 km. Setelah menggunakan B20, Tonton menjelaskan penggantian itu bisa menjadi lebih cepat.
Seberapa besar B20 mengurangi usia pakai komponen belum bisa dipastikan. Tonton menyebut IAMI sudah melakukan penelitian mendalam soal B10 dan kajian pada B20 juga sudah dilakukan namun sebatas simulasi, belum pada penggunaan normal di jalanan.
Tonton juga menyebut dampak lain B20, yaitu karena dijelaskan memiliki sifat deterjen, maka penggunaannya bisa menguras kotoran yang sudah ada sebelumnya di tangki bahan bakar. Akibatnya, kotoran bakal bercampur dengan bahan bakar dan berpotensi masuk ke ruang pembakaran.
"Jadi tugas saringan bahan bakar itu sangat penting untuk menyaring kotoran. Kalau misalnya konsumen membiarkan sampai lebih dari 5.000 km, saringan rusak lalu kotoran akan masuk ke ruang pembakaran. Injektor juga lama-lama pasti rusak," ucap Tonton.
Belum selesai sampai di situ, masih ada dampak lainnya penggunaan B20 yang perlu dipelajari. Tonton mengatakan bakal melakukan studi tentang efek B20 pada komponen bermaterial seperti metal dan karet yang ada pada mobil.
"B20 itu unsur airnya juga tinggi, kalau dia diam dalam waktu lama ada penguapan. Ada efek korosi juga, misalnya bagaimana ke pipa saluran bahan bakar," kata Tonton.
Konsumen yang Tanggung Risiko Mengganti saringan bahan bakar lebih cepat, risiko kerusakan injektor, dan kemungkinan lebih sering menguras tangki bahan bakar, merupakan sebagian risiko yang harus ditanggung konsumen bila menggunakan B20.
Buat konsumen kendaraan niaga bermesin diesel yang sebagian besar digunakan untuk usaha, servis kendaraan termasuk penggantian komponen merupakan ganjalan bisnis. Pasalnya saat berhenti bekerja untuk servis, kendaraan jadi tidak bernilai karena tidak menghasilkan untung.
Sosialisasi soal dampak B20 sepatutnya dilakukan untuk menghindari salah pemahaman pada masyarakat.Kabarnya Peraturan Presiden tentang penggunaan B20 untuk non-PSO akan ditandatangan Presiden Indonesia Joko Widodo dalam satu hingga dua hari ke depan. Wajib B20 disebut bakal mulai diterapkan mulai 1 September 2018. (fea)