Chery memposisikan teknologi hybrid sebagai solusi realistis untuk menjembatani kebutuhan kendaraan elektrifikasi di Indonesia yang dinilai belum merata. Produsen asal China ini mengandalkan teknologi Chery Super Hybrid (CSH) sebagai alternatif di tengah berbagai hambatan mobil listrik.
"Sebenarnya, kalau kita saat ini melihat sebagai Chery, melihat elektrifikasi ini belum bisa di-apply 100 persen di Indonesia. Karena tentunya ada perbedaan ekosistem di luar jaringan, di luar Jabodetabek yang tidak seragam. Nah, kita melihat kita punya keunggulan dari sisi CSH," Direktur Penjualan PT CSI Budi Darmawan di sela-sela gelaran GIIAS 2025, ICE BSD City, Tangerang, Selasa (29/7).
Menurutnya, CSH memberikan pengalaman tanpa kehilangan fleksibilitas mesin bensin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Chery Super Hybrid punya feeling elektrifikasi, tapi dengan fleksibilitas ICE. Ini saat ini kompetitor belum punya teknologi yang se-advance kita. Justru ini kita melihat peluang bisnis, kita masuk market yang memang selama ini belum terisi, kita isi," sambungnya.
Data internal mereka juga menunjukkan, penjualan Tiggo 8 CSH tak hanya diserap pasar Jabodetabek.
"Jadi, itu yang terjadi dengan Tiggo 8 CSH yang kontribusi penjualannya itu enggak melulu didominasi oleh Jabodetabek. EV itu 80-90 persen Jabodetabek. Nah, pergeseran di CSH ini, sekarang komposisinya up to 50-50 kontribusi non-Jabodetabek dengan Jabodetabek," terangnnya.
Lihat Juga : |
Hal ini menunjukkan strategi penetrasi Chery berhasil menyasar konsumen di kota-kota besar luar Jakarta. Perilaku konsumen di luar Jabodetabek dinilai masih tidak terbiasa dan malas untuk melakukan pengisian ulang daya mobil listrik.
"Artinya, strategi kita tuh berhasil untuk nge-grab selama ini market yang memang belum tergarak oleh kompetitor. Kita punya advantage di teknologi, dan kebetulan itu menjadi solusi buat customer Indonesia. Karena kalau kita bicara, gak usah jauh-jauh deh, di Jateng, kita bicara Medan, kota-kota besar, Surabaya, mereka masih ada yang, aduh kalau pakai full EV tuh ribet charge," ucapnya.
Minimnya insentif seperti pembebasan ganjil-genap di luar Jabodetabek dinilai turut memengaruhi preferensi konsumen. Selain itu, fluktuasi harga mobil listrik juga jadi kendala masyarakat enggan membelinya.
"Sudah gitu mereka enggak dapat benefit seperti Jabodetabek (soal) ganjil-genap, karena mereka gak ada di situ. Kenapa kita harus repot-repot? Sudah gitu ada kekhawatiran kalau EV tuh harga jualnya jeblok," katanya.
Selain itu, faktor jarak tempuh juga menjadi pertimbangan utama, dan mobil hybrid mengakomodasi masalah itu.
"Satu hal lagi, EV itu distance-nya, kalau kita bicara di Sumatera, itu udah challenge lagi. Dari Medan ke kita mau ke Danau Toba, misalnya itu bolak-balik PR sih. Tapi kalau PHEV no issue," sambungnya.
Lihat Juga : |
Dengan PHEV, konsumen tetap bisa merasakan manfaat kendaraan listrik tanpa kekhawatiran soal jarak atau infrastruktur. Mobil hybrid setidaknya untuk saat ini dapat jadi jalan tengah antara belum siapnya infrastruktur mobil listrik yang merata tetapi masyarakat perlu kendaraan yang tetap irit.
"Dia tetap dapat performance-nya EV, irit, performance dapat, irit dapat, fleksibilitas dapat. Jadi ini sebenarnya solusi," kata dia.
"Karena tentunya orang ke depan mikirin irit, bensin makin mahal, tapi belum fully ready untuk elektrifikasi 100 persen. Jadi ini solusinya," lanjut dia.
Sejauh ini Chery meniagakan mobil listrik Chery J6 dan Omoda E5 dari sebelumnya Omoda EV. CSI pun belum ada rencana meluncurkan model mobil listrik.
(job/mik)