MTI Beberkan Alasan Publik Tolak Sirene 'Tot Tot Wuk Wuk'
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) mengungkap alasan sirene dan rotator yang kini kerap disebut "Tot Tot Wuk Wuk" ditolak masyarakat, mulai dari penyalahgunaan hingga kebisingan.
"Sirene dan rotator, yang dikenal sebagai strobo, adalah alat yang dirancang untuk memberikan peringatan darurat. Namun, penggunaan yang tidak tepat sering kali membuat masyarakat menolaknya. Masyarakat sudah cukup gerah dengan kebisingan di jalanan," ujar Djoko Setijowarno, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat dalam keterangannya, Sabtu (20/9).
Djoko menyebut alasan pertama yang menjadi dasar penolakan pada sirene dan strobo adalah penyalahgunaan. Menurutnya, masyarakat sering kali melihat kendaraan pribadi atau pejabat yang tidak dalam keadaan darurat menggunakan strobo untuk menerobos kemacetan.
Hal tersebut, katanya, lantas menimbulkan persepsi strobo adalah simbol hak istimewa dan bukan alat untuk keselamatan publik. Hal ini juga dinilai menciptakan rasa tidak adil dan memicu kemarahan di masyarakat.
Alasan kedua dan yang paling jelas adalah masalah kebisingan. Penggunaan sirene yang nyaring dapat sangat mengganggu, khususnya di lingkungan padat penduduk atau saat waktu tengah malam.
"Gangguan ini tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga dapat menimbulkan stres, bahkan memicu kecemasan. Orang tua, orang sakit, atau mereka yang ingin beristirahat sering merasa terganggu oleh kebisingan yang berlebihan," tutur Djoko.
Dia juga menyinggung soal kurang tegasnya penegakan regulasi, padahal sudah jelas siapa saja yang berhak menggunakan sirene dan strobo. Djoko menilai ketidaktegasan tersebut membuat banyak orang berani menggunakan perangkat itu, yang memperburuk masalah penyalahgunaan.
Puncak dari permasalahan sirene dan strobo ini adalah pudarnya kepercayaan publik. Djoko mengatakan masyarakat tidak lagi yakin apakah kendaraan dengan sirene dan strobo benar-benar dalam situasi darurat atau hanya kendaraan yang mencari jalan pintas.
"Akibatnya, ketika ada situasi darurat yang nyata, respons masyarakat untuk memberikan jalan mungkin tidak secepat atau setanggap seharusnya," jelasnya.
Merespons penolakan publik, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri memutuskan melakukan pembekuan sementara penggunaan sirene dan rotator dalam pengawalan di jalan raya.
Kakorlantas Polri Irjen Agus Suryonugroho mengatakan pembekuan ini dilakukan sembari pihaknya mengevaluasi soal penggunaan sirene dan strobo saat pengawalan.
"Kami menghentikan sementara penggunaan suara-suara itu, sembari dievaluasi secara menyeluruh. Pengawalan tetap bisa berjalan, hanya saja untuk penggunaan sirene dan strobo sifatnya dievaluasi. Kalau memang tidak prioritas, sebaiknya tidak dibunyikan," kata Agus lewat keterangan tertulis, Sabtu (20/9).
Agus pun menekankan saat ini penggunaan sirene hanya boleh dilakukan pada kondisi tertentu yang benar-benar membutuhkan prioritas.
Lebih lanjut, Djoko menilai keputusan Kakorlantas ini patut diapresiasi. Menurutnya, kebijakan sementara ini merupakan langkah awal yang baik untuk mengembalikan aturan yang berlaku.
"Sebagian besar masyarakat setuju bahwa penertiban ini tidak seharusnya hanya sementara. Penggunaan sirene dan rotator di luar peruntukannya sudah menjadi masalah kronis yang memicu ketidakadilan dan kekacauan di jalan," katanya.
"Dalam keseharian dengan hiruk pikuk kemacetan di Kota Jakarta, sebaiknya pengawalan dibatasi untuk Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan pejabat negara yang lain tidak perlu dikawal seperti halnya Presiden dan Wakil Presiden," tandasnya.
(lom/tis)