Jakarta, CNN Indonesia -- Kalian tahu badak sumatra? Badak ini punya nama spesies
Dicerorhinus sumatrensis. Habitatnya saat ini ada di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Satwa ini adalah badak paling tua dari lima spesies yang ada dalam keluarga
Rhinocerotidae. Ia disebut dekat banget sama badak berbulu dari zaman es Pleistocene, yaitu
Coelodonta antiquitatis.
Masalahnya, badak sumatra sudah sangat terancam punah menurut data International Union for Conservation of Nature (IUCN). Populasinya menurun drastis dari 600 ekor pada 1985 jadi kurang dari 300 ekor pada 1995.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian pada 2007, populasinya diperkirakan sekitar 200 ekor saja. Sedihnya, pada 2013, populasinya kurang dari 100 ekor. Itu terjadi akibat perburuan liar karena culanya dianggap berkhasiat obat mujarab.
Karena jarangnya populasi ini, tak banyak penelitian yang dilakukan mengenai ekologi dan habitat yang dibutuhkan satwa ini. Penelitian awal dilakukan pada 1970-an. Penelitian terakhir kebanyakan soal fisiologinya, terkait reproduksi di tempat penampungan.
Tapi kebanyakan upaya untuk mereproduksi badak sumatra di tempat penampungan dianggap bukan strategi yang tepat, sebab itu tak menahan laju penurunan populasi hewan itu. Strategi yang dianggap paling tepat oleh kebanyakan ilmuwan dan ahli konservasi adalah melindungi badak di alam liar.
Sebuah penelitian yang digelar tim ahli dari Wildlife Conservation Society (WCS) dan Universitas Massachusetts-Amherst (UMass) telah menemukan distribusi badak yang tersisa. Mereka kemudian menetapkan lima Zona Perlindungan Intensif di Gunung Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan Taman Nasional Way Kambas.
Sayang sekali di zona di Leuser dan Bukit Barisan ada rencana pembangunan jalan baru yang akan membelah taman nasional di sana. Kalau terjadi, sudah pasti sulitlah melindungi badak di kawasan itu.
Wulan Pusparini dari WCS meminta pemerintah menetapkan secara formal kelima zona itu sekaligus menganulir rencana pembangunan jalan. “Badak sumatera akan punah bila tidak ada upaya apapun yang secepatnya dilakukan,” katanya, dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Plos One itu.
(ded/ded)