Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengundurkan diri dari Partai Gerindra. Biang keladinya Rancangan Undang-Undang Pilkada yang saat ini tengah dibahas di DPR. Basuki, yang akrab dipanggil Ahok, tak sepakat dengan sikap Gerindra yang menginginkan pilkada langsung dihapuskan. Ahok sangat menentang kehendak Gerindra mengembalikan kewenangan memilih kepala daerah ke tangan DPRD.
Alasannya jelas, Ahok merupakan produk pilkada langsung. Jokowi dan dia tak mungkin terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta apabila gubernur dipilih oleh DPRD. Pada Pilkada DKI 2012, hanya dua partai yang mengusung Jokowi-Ahok, PDIP dan Gerindra. Bandingkan dengan jumlah partai pengusung rival mereka, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, yang total ada tujuh.
Meski dukungan minimal, Jokowi-Ahok berhasil memenangi Pilkada DKI Jakarta dengan perolehan suara 53, 82 persen. Tak heran Ahok marah karena Gerindra merespons pengunduran dirinya dengan mengatainya tak tahu terima kasih. Ahok mengatakan Jokowi dan dia menang bukan hanya karena Gerindra, tapi terutama karena warga Jakarta yang memilih mereka.
Ahok benar. Itulah esensi pilkada langsung yang sedang ia perjuangkan sampai-sampai memutuskan mundur dari partai.
Vox populi, vox Dei. Suara rakyat, suara Tuhan.
Partai memang memfasilitasi kemenangan Ahok lewat kampanye yang mereka lakukan. Tapi keputusan akhir tetap berada di tangan rakyat. Banyak rasionalitas di balik pilihan rakyat yang semuanya itu tak melulu karena jasa partai.
Maka saya berani bilang, mundurnya Ahok dari Gerindra merupakan kerugian besar bagi partai itu. Gerindra kehilangan satu kursi kepala daerah. Terlebih, Ahok duduk di jabatan strategis. Ia wakil gubernur yang tak lama lagi akan menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi yang dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober 2014.
Lebih rugi lagi, Ahok merupakan pemimpin Jakarta, ibu kota Republik Indonesia. Jakarta merupakan etalase Republik. Apapun yang terjadi di Jakarta akan bergaung ke seantero nusantara. Seandainya Ahok pejabat daerah lain, kerusakan yang ia timbulkan terhadap Gerindra tak akan sebesar ini.
Penting dicatat, mayoritas publik juga berada di sisi Ahok. Mereka menginginkan pilkada langsung. Sementara Gerindra pada posisi yang berseberangan. Simpati publik ke partai Prabowo Subianto itu jelas akan turun. Sungguh pukulan telak bagi Gerindra.
Ahok adalah tokoh nasional. Ia punya legitimasi kuat untuk bersikap soal RUU Pilkada. Dia pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur, Bupati Belitung Timur, bertarung sebagai calon gubernur Bangka Belitung namun kalah, menjabat sebagai anggota DPR RI, sampai akhirnya wakil gubernur DKI Jakarta. Jadi Ahok tahu betul nuansa pilkada.
Kalau saya tak salah ingat, Ahok merupakan kepala daerah yang mempelopori biaya kesehatan gratis untuk warga. Kebijakan berorientasi rakyat ini lantas dicontoh oleh para kepala daerah lain. Program kesehatan dan pendidikan gratis diterapkan di sejumlah daerah dan menuai sukses. Ini sesungguhnya implikasi positif dari pilkada langsung yang jarang disinggung.
Dampak pilkada langsung lebih luas dari yang dibayangkan. Kepala daerah jadi 'dipaksa' untuk berpikir dan membuat kebijakan nyata bagi rakyat yang dipimpinnya. Proporsi anggaran untuk pembangunan daerah dalam APBD pun jadi lebih besar ketimbang anggaran rutin untuk gaji pegawai negeri. Hal ini terjadi karena kepala daerah langsung dipilih oleh rakyatnya.
Langkah Ahok mundur dari Gerindra sekaligus menambah tekanan bagi koalisi Merah Putih dalam pembahasan RUU Pilkada. Semoga saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Umum Demokrat dapat mencontoh sikap tegas Ahok dengan meminta partainya mendukung pilkada langsung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT