Jakarta, CNN Indonesia -- Telepon yang ada dalam genggaman Uchok Sky Khadafi, menyalak berkali-kali. Beberapa pesan singkat masuk dalam waktu cepat. Pada layar telepon genggam Direktur Investigasi dan Advokasi dari Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) itu, terbaca pesan yang menyiratkan kegalauan.
“Kami dianggap tak terdaftar, seperti diusir rasanya,” kata Uchok menceritakan isi pesan yang ia terima dari seberang telepon setahun silam, kepada CNN Indonesia, Rabu (1/10).
Kala itu, kolega Uchok yang berada dalam satu bendera lembaga swadaya masyarakat yang sama dipersulit untuk mendapatkan data seputar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Alih-alih diberi informasi, para aktivis muda itu diping-pong birokrasi dan berujung pada perintah pendaftaran ke pemerintah daerah setempat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Membaca pesan itu, Uchok jelas naik pitam. Bagaimana tidak, perlakuan yang FITRA Sumatera Utara itu dapati sungguh melukai nafas reformasi soal keterbukaan informasi. “Terlebih soal keterbukaan informasi publik, UU No 14 tahun 2008,” kata Uchok.
Namun usai reda amarahnya, sarjana ilmu politik dari Universitas Jakarta itu pun lantas mengingat soal adanya ganjalan besar bagi koleganya dari Yayasan FITRA Sumatera Utara itu. Ganjalan itu bernama Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan No 17 tahun 2013.
“Memang ada persyaratan diwajibkannya pendaftaran ormas kepada pemerintah tepatnya pada pasal 15 dan pasal 19,” katanya. “Meski organisasi itu sudah berbadan hukum. Sungguh aturan yang ganjil, menghambat aktivitas organisasi sipil yang menuntut keterbukaan pemerintah.”
Menurut Uchok, dengan adanya UU Ormas pemerintah benar-benar membelenggu kebebasan rakyatnya berorganisasi. “Selama ini kami berpayung hukum notaris atau Kemenkumham, ini harus izin lagi. Ini pemberangusan kemerdekaan berserikat,” katanya.
Sebenarnya UU Ormas adalah pelestarian cara pandang yang keliru. Parahnya itu diletakkan di level undang-undangRonald Rofiandri |
Kegusaran Uchok diamini Direktur Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar. Bahkan lebih keras lagi Haris menilai UU Ormas yang diterbitkan pada masa Busilo Bambang Yudhoyono itu seolah membangkitkan kembali Orde Baru--zaman di mana pemerintahan Soeharto berkuasa selama 32 tahun.
“Lebih buruk lagi nasib kami karena bersama ICW pernah digolongkan sebagai organisasi berbahaya bagi pemerintah oleh pihak intelijen,” katanya. Ia mengaku meski tak langsung mendengar namun dirinya mendapatkan kabar itu dari rekaman rapat di DPR yang menunjuk dua organisasi itu merupakan ancaman negara.
Melihat apa yang dialami FITRA, kata Haris, bermula dari represif birokratis akan sangat mungkin menuju pada pelanggaran-pelanggaran yang memangkas kehidupan demokratis. “Bibitnya mulai terlihat,” katanya.
Setidaknya ada beberapa UU yang dianggap oleh KontraS bersifar represif dari yang diwariskan 10 tahun pemerintahan SBY. UU Intelijen, UU Informasi, UU Transaksi Ekonomi, dan salah satu RUU yang mencemaskan dan sempat ditunda untuk periode 2014-2019, yaitu RUU Keamanan Nasonal atau Kamnas.
Salah satu pakar yang mengkaji Undang-undang Ormas, Roland Rofiandri mengaku sebenarnya sempat terjadi penolakan dari beberapa ahli soal pengundang-undangan soal Ormas. Pasalnya, kata Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan itu, dalam beleid itu negara memandang masyarakat atau organisasi masyarakat sebagai sumber konflik yang selama ini muncul ke permukaan.
Dalam kenyataannya, Roland menilai ada penyempitan makna atas organisasi. Dengan diberlakukannya UU Ormas, maka organisasi menjadi kerdil lantaran eksistensi organisasi terukur dengan hanya terdaftar dalam Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas).
“Sebenarnya UU Ormas adalah pelestarian cara pandang yang keliru. Parahnya itu diletakkan di level undang-undang,” kata Roland.
Sementara itu, “tok... tok...!” Palu majelis hakim Mahkamah Konstitusi diketuk. Tanda sebuah keputusan final atas uji materi sebuah beleid terlahir. Dalam kesempatan itu, majelis menolak seluruh permohonan uji materi beleid soal intelijen yang diajukan Koalisi Advokasi yang terdiri dari Imparsial, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan HRWG.
 Koordinator Kontras Haris Azhar mewakili Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB), mendesak pemerintah dan DPR untuk mencabut UU no 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), Jakarta, Senin, (18/2). (Detik Foto/Ari Saputra) |
Dalam pertimbangannya, panel hakim yang terdiri dari Sembilan hakim itu menegaskan bahwa undang-undang intelijen tidak mengancam kebebasan hak sipil, HAM, juga kebebasan pers. “Aneh, padahal setidaknya kami berpikir ada 16 pasal yang bermasalah, semuanya multi tafsir” kata Al Araf dari Imparsial mewakili Koalisi Advokasi saat berbincang dengan CNN Indonesia Senin dua pekan lalu.
Para pegiat HAM khawatir, meski belum diterapkan sejak diundangkan, beleid ini bias disalahgunakan untuk kepentingan penguasa. “Semua yang tak sejalan dengan pemerintah bisa jadi dikenakan hukuman dari beleid ini,” katanya.
Menurut Al Araf bahaya represif lainnya yang terkandung dalam beleid ini adalah tidak diaturnya mekanisme komplain bagi masyarakat yang menjadi korban aparat intelijen. Sebab jika korban tidak mendapat haknya dari mekanisme komplain, kata Al Araf, dengan demikian UU Intelijen menabrak hak-hak korban sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. "Apakah itu bentuk yang represif? Semua bisa simpulkan sendiri," ujarnya.
Berbeda dengan Koalisi Advokasi, anggota Komisi I DPR RI periode 2009-2014 TB Hasanuddin yang menjadi salah satu inisiator UU Intelejen dengan mantap mengakui telah banyak berubah dari UU sebelumnya. “UU Intelijen ini dibuat untuk mengatur kegiatan intelijen demi kepentingan negara, bukan sebagai eksekutor,” kata politisi PDI Perjuangan ini, kepada CNN Indonesia.
Menanggapi semua polemic soal represifitas beleid di era kepemimpinan SBY, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi dalam sebuah perbincangan dengan CNNIndonesia.com, menepis semua anggapan hadirnya bibit rezim represif yang ditanamkan SBY melalui UU untuk pemerintah selanjutnya.
Gamawan menegaskan, menanggapi UU Ormas, Intelejen dan beberapa UU yang berpotensi membalikan atmosfer demokrasi tidak akan pernah terjadi. “Kenapa kita maknai harus berhadapan dengan pemerintah? Kalau ada pengaturan ormas itu lebih kepada menata kehidupan yang baik . Bagaimana kalau ada orang-orang tertentu yang dimanfaatkan oleh negara-negara tertentu untuk merusak negara, apa ada toleransi?” katanya.
Pengaturan yang dimaksud kan oleh pemerintah adalah kemudian untuk kemudahan secara administrasi dan birokrasi tanpa ada rencana melakukan pengekangan. “Jangan diartikan salah, keberadaan ormas ini selalu diposisikan kepada yang berseberangan dengan pemerintah. Itu salah, itu keliru,” katanya.
Terlepas dari semua bentuk undang-undang yang telah dilahirkan dalam 10 tahun pemerintahan SBY beserta kontroversinya, Gamawan berharap banyak kepada pemerintahan terpilih yang ada di tangan Jokowi dan JK, terlebih dari mempertahankan iklim demokrasi yang kondusif.
“Melanjutkan yang baik dan memberikan jalan keluar bagi yang kurang baik sehingga masyarakat makin sejahtera dan Indonesia makin maju,” ujarnya.