Imparsial Minta Aparat Hukum Bedakan Makar Dengan Kritik

M Andika Putra | CNN Indonesia
Selasa, 06 Des 2016 01:23 WIB
Aparat penegak hukum diminta bedakan antara makar dengan kritik karena pasal makar memiliki penafsiran yang sangat luas.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf (kanan) meminta aparat penegak hukum untuk membedakan antara makar dengan dengan kritik. (ANTARA FOTO/Reno Esnir)
Jakarta, CNN Indonesia -- Markas Besar Polri resmi telah menetapkan 10 tersangka dari 11 orang yang ditangkap sejak Jumat dini hari (2/12) dalam perbuatan Pasal 107 juncto Pasal 110 juncto Pasal 87 KUHP mengenai perbuatan makar dan pemufakatan jahat untuk melakukan makar. Menanggapi itu, Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf meminta aparat penegak hukum untuk membedakan antara makar dengan dengan kritik.

"Yang penting begini, yang ingin saya pastikan perbedaan makar dengan kritik. Oleh karena itu, jangan sampai makar diidentikkan dengan kebebasan berekspresi dan kebebasan menyampaikan pendapat," kata Araf usai jumpa pers di kantor Imparsial, Jakarta, Kamis (5/12) siang.

Araf mengatakan bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia memberikan tempat bagi penegak hukum untuk memutuskan orang terlibat makar atau tidak. Namun, ia menilai pasal-pasal yang berkaitan dengan makar merupakan 'pasal karet' sehingga penafsiran atas pasal tersebut menjadi sangat luas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam konteks itu, Araf menyatakan penegak hukum harus menguji dengan benar pasal makar yang penafsirannya sangat luas tersebut.

"Sejauh ini kan kita masih menantikan bukti-bukti apa yang dimiliki kepolisian. Tentu untuk makar itu harus ada beberapa prasyarat, seperti ada niat dalam upaya untuk menggulingkan kekuasaan, ada grand design pergantian kekuasaan tersebut, ada upaya untuk secara sistematis dengan perencanaan yang matang dalam pergantian kekuasaan tersebut," kata Araf.

Atas dasar itu, kata Araf, semua unsur dalam pidana makar harus terpenuhi. Menurutnya, institusi penegakan hukum tak boleh main-main dalam menentukan orang melakukan makar atau tidak. Menurut Araf menjadi penting penjelasan mengenai unsur tersebut dalam proses persidangan.

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar sebelumnya menyebutkan 10 orang yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Kivlan Zein, Adityawarman Thahar, Ratna Sarumpaet, Firza Huzein, Eko Santjojo, Alvin Indra, Rachmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, dan kakak beradik Rizal dan Jamran.

Tak semua tersangka dikenakan pasal yang sama. Jamran dan Rizal hanya dijerat dengan Pasal 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun, Boy mengkonfirmasi jika keduanya juga dikenakan Pasal 107 dan 110 KUHP terkait perbuatan makar.

"Bagi mereka yang merasa tidak melakukan makar harus segera melakukan praperadilan. Menurut saya itu baik untuk menguji apakah unsurnya terpenuhi atau tidak. Meski itu mekanismenya formal," kata Araf.

Araf menjelaskan semua bisa teratasi dengan transparansi dan akuntabilitas dari penegakan hukum. Menurut Araf yang harus dipahami adalah jangan sampai kemudian makar diidentikan dengan kebebasan berekspresi.

"Nah itu sesuatu kritik terhadap pemerintah, karena kritik dan kebebasan berekspresi berbeda dengan makar yang terencana. Sesuatu yang harus dibuktikan lebih lanjut," kata Araf. (wis/rel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER