Jakarta, CNN Indonesia -- Para penyelenggara jasa internet (ISP) di Indonesia masih gusar, kasus yang menimpa mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto menimbulkan ketidakpastian di industri ini, 'kiamat' internet pun masih mungkin terjadi.
Sammy Pangerapan, Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengatakan, kiamat internet bagi Indonesia saat ini adalah besaran jumlah denda yang mesti dibayarkan oleh IM2 bisa membuat ISP kolaps.
Indar dinyatakan bersalah atas kasus tuduhan korupsi pengadaan jaringan 2,1 GHz/3G PT Indosat dan divonis 8 tahun penjara. Ia kemudian ditahan di LP Sukamiskin setelah upaya kasasinya ditolak Mahkamah Agung (MA).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain vonis penjara, Indar juga harus membayar denda Rp 300 juta subsider kurungan 6 bulan. Dalam putusan kasasi, MA juga menghukum IM2 untuk membayar uang pengganti Rp 1,3 triliun. Kejagung selaku eksekutor juga memerintahkan IM2 untuk membayar uang pengganti tersebut.
"Kalau dianalogikan, IM2 disuruh bayar Rp 1,3 triliun pasti akan kolaps. Ini hanya ilustrasi, bahwa perusahaan jika mengalami kasus seperti ini, khususnya disuruh bayar denda segitu banyaknya, pasti akan kolaps," kata Sammy, di Hotel Akmani, Jakarta, Rabu (11/2/2015).
Sammy pun meminta agar Undang-Undang Telekomunikasi dan Peraturan Menteri Nomor 31/PER/M.KOMINFO/9/2008 harus direvisi. Ini perlu dilakukan dasar hukum ini sudah tidak bisa memberikan payung kepastian bagi industri di dalamnya.
"Ada
gap pemahaman di UU Telekomunikasi ini bahwa masalah bisnis, jasa, dan telekomunikasi khusus itu tidak dipertegas," katanya. "Saya rasa harus ada revisi UU (Telekomunikasi) dan peraturan menteri seperti misalnya pemisahan aturan soal jaringan, jasa, dan telekomunikasi khusus. Biar semuanya jelas dan tegas. Hal ini kan bisa berguna buat turunannya nanti."
UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi terutama pada pasal 9 ayat 1 yang menyebut Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
Kemudian dalam pasal 9 ayat 2 menyebut Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Saran ini kemudian ditanggapi oleh anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Nonot Harsono. Faktanya adalah UU Telekomunikasi merupakan fatwa dari regulator, jika diragukan, maka yang bisa dilakukan adalah melakukan diskusi dengan para ahli.
"Dalam kasus ini, tidak relevan. Akan tetapi kalau untuk UU khusus konvergensi selanjutnya ya pasti terpengaruh. Konvergensi ini juga harus sesuai sama hukum yang ada," kata Nonot.
(tyo/ded)