Jakarta, CNN Indonesia -- Mumi Chinchorro adalah mumi yang tertua usianya di dunia, jauh lebih tua dari mumi Mesir. Tapi mumi yang terkenal itu kini terancam masalah kerusakan yang mengkhawatirkan.
Penyebabnya adalah meningkatnya level kelembaban di tempatnya disimpan di Chili. Ilmuwan mendapati sebagian tubuh spesimen mumi meluruh dan ada yang mengeluarkan cairan kental berwarna hitam.
Sebanyak 120 spesimen mumi Chinchorro disimpan di museum arkeologi milik Universitas Tarapaca di Arica, Chili. Fakultas Teknik dan Ilmu Terapan Harvard menyatakan akhir-akhir ini mulai disadari adanya kerusakan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mumi buatan masyarakat Chinchorro di utara Chili adalah mumi buatan manusia yang tertua di dunia. Mumi ini berusia sekitar 7.000 tahun. Tapi teknologi mumifikasi masyarakat Chincorro diperkirakan lebih tua dari itu.
“Dalam 10 tahun terakhir proses kerusakan itu meningkat,” kata Marcela Sepulveda, profesor arkeologi di jurusan Antropologi dan Laboratorium Analisis dan Riset Archeometric di Universitas Tarapaca.
Sepulveda mengatakan sangat penting untuk mencari tahu apa yang menyebabkan kerusakan tersebut dan mengambil tindakan untuk menyelamatkan mumi-mumi tersebut.
Sepulveda meminta bantuan ilmuwan di Eropa dan Amerika Utara, termasuk Ralph Mitchell, profesor biologi terapan di Fakultas Teknik dan Ilmu Terapan Harvard.
“Kami tahu bahwa mumi-mumi itu mengalami degradasi, tapi tak seorang pun yang mengerti kenapa,” kata Mitchell. “Degradasi ini semacam ini belum pernah dipelajari sebelumnya, kami ingin menjawab dua pertanyaan: apa yang menyebabkan dan apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah hal itu terulang di masa depan.”
Bakteri dari Kulit ManusiaSebuah analisis terhadap microflora yang terdapat pada tubuh mumi itu menunjukkan bahwa bakteri yang ada tidak berasal dari organisme kuno, tapi malah bakteri yang normalnya hidup di kulit manusia sekarang.
Bakteri ini dikenal sebagai bakteri oportunis. “Karena segera setelah munculnya temperatur dan kelembaban yang tepat, mereka segera memakai kulit (manusia) sebagai sumber hara,” kata Mitchell, dalam keterangan resmi Fakultas Teknik dan Ilmu Terapan Harvard.
“Kata kunci yang sering kami pakai untuk mikrobiologi adalah oportunis,” kata Mitchell. “Dengan banyaknya penyakit yang harus kita hadapi, mikroba dalam tubuh kita adalan awalnya, tapi ketika lingkungan berubah, ia menjadi oportunis.”
Iklim dan tingkat kelembaban diyakini memainkan peran penting dalam proses degradasi oleh bakteri.
Percobaan dengan Kulit BabiUntuk menemukan kelembaban yang tepat, Mitchell dan timnya melakukan sejumlah percobaan. Mereka mengatur tingkat kelembaban udara di ruangan museum, dari kering sampai basah, untuk menemukan pada level berapa kelembaban yang tepat. Mereka melakukan percobaan pada kulit babi, supaya tak mengorbankan kulit mumi sebenarnya.
Kelembaban di kawasan tempat museum berada ternyata telah meningkat akhir-akhir ini. Sepulveda mengatakan, normalnya Arica adalah daerah yang gersang karena berada dekat dengan Gurun Atacama, gurun terkering sedunia (di luar kawasan kutub). Perubahan iklim di Chili diduga mempengaruhi tingkat kelembaban di Arica.
Hasil percobaan mereka mendapati bahwa pada tingkat kelembaban yang tinggi, kulit mulai meluruh setelah 21 hari. Jadi, museum perlu mempertahankan tingkat kelembaban di dalam ruangan tempat mumi disimpan pada angka 40-60 persen. Kelembaban yang lebih tinggi dari itu akan menyebabkan degradasi yang lebih, sementara kalau lebih rendah dapat merusak kulit mumi.
(ded/ded)